Review Buku Perikardia
Buku ini saya beli bulan Desember 2019 lalu,
niatnya sih ingin dibawa saat keliling ASEAN lalu, namun lupa taruh dimana.
Sebenarnya sudah tau buku ini sejak si penulis mengumumkannya di akun sosmed
miliknya, namun belum kesamampaian ikut PO atau langsung beli, sadar diri lah,
kerja di pelosok yang ongkirnya lebih mahal dibandingkan harga bukunya
*persoalan dunia ketiga
Bagi yang mengikuti beliau di sosmed, pasti
sudah tidak asing dengan cerita yang ditulis dalam buku ini. percayalah,
seperti kata pepatah, bahwa ilmu kita itu hanya 1% dari seluruh ilmu di dunia
ini, begitu juga, cerita si penulis di twitter itu hanyalah 1% dari apa yang
ada di buku ini.
Begitu lihat judulnya, Perikardia, rasanya
sebuah kata yang asing. Bagi siapapun yang bukan anak kedokteran, hei, minggir
kalian, Perikardia adalah sebuah istilah lapisan pembungkus sebuah organ di
tubuh kita, namun di plesetkan oleh penulis menjadi “Perjalanan Indah untuk
Dikenang, Ribet untuk Diulang” yha mirip lah ya dengan masa SMA kita-kita.
Covernya pun lucu. Satu pertanyaan tidak penting adalah, mengapa warna merah?
Because red had same perspective with blood and the blood is icon for medical
world? Bhaha
Membaca buku ini kayak lagi baca buku panduan
lolos olimpiade biologi khusus bab pencernaan, pernafasan, rekresi dan seluruh
fungsi tubuh manusia lah. kocak.
*sebentar, tetangga lagi mutar lagi rock, dan
ganggu konsen banget
Meskipun di awal agak terganggu dengan cara
bercerita penulis yang menyambungkan kejadian sekarnag dengan flashback dia
sewaktu koas. Pembatas antar waktu yang berbeda tidak tertulis dengan jelas,
jadi kaget aja sih kok tiba-tiba scene udah pindah aja ke koas. Tetapi ini
adalah gaya bercerita yang unik. Istilah yang tepat ‘ke-trigger’ kali ya. Tiap
ada kejadian di masa sekarang ingatnya kejadian masa lalu yang mirip. Eh
reflektif deng.
Yang bikin kagum adalah bagaimana si penulis
mengatasi kegugupan dan kekhawatiran setiap mengawali stase baru. Mungkin jika
aku yang berada di posisinya bakalan lama koasnya, yah gimana gugupku akan ketahuan
dan kadang lupa berdoa dengan tuhan kalau sudah gugup banget. Nah si penulis
ini tampaknya dibekali oleh ilmu kehidupan yang bijaksana dari kedua
orangtuanya.
Setelah selesai membaca ini, jadi mikir sih.
Emang bisa langsung ngasih sambutan saat kita
diumumin sebagai wisudawan terbaik? Soalnya dari pengalaman teman, bahkan
naskahnya aja formal banget. Alias naskah dosen yang dibacakan jadi kurang
berasa personal.
Kedua adalah, Indonesia kurang banget
menerbitkan buku dengan konsep beginian. Padahal dokter adalah impian anak sd
yang dianggap pintar di kelasnya, maksudnya adalah profesi yang semua orang
kenal dan paham tugasnya ngapain. Mengapa sedikit sekali buku dengan tema
seperti ini?
Jangankan buku deng, sinetron juga. Tidak ada
yang fokusnya mengulas konflik antara dokter atau perawat apalagi yang
settingnya 80% di rumah sakit. Alih-alih drama, rumah sakit digambarkan sebagai
sarangnya hantu, film horror nih sering sekali menggambarkan ini.
Sekali ini aku merasa iri dengan Negara
sahabat, korea selatan lah ya, sudah ada puluhan drama tentang ‘rumah sakit’
tetapi ceritanya selalu segar. Kisah cinta antara dokter atau perawat sudah
pasti, nah latar belakang, siapa saja terlibat, apakah ada politik atau
perebutan tahta bahkan penyakit yang diangkat adalah ide yang coba dijual oleh
si pembuat drama.
Semoga buku ini laris, dan menjadi awal dari
kebangkitan buku dengan tema-tema umum tapi jarang dijadikan buku.
Apakah aku harus bikin buku dengan latar
perkebunan tebu? Nanti ya kalau aku sudah pro.
Comments
Post a Comment