Namanya Ikbal
Namanya Ikbal.
Dari jutaan anak di Indonesia, ia terpilih menjadi adik angkatku. Meskipun
pengangkatannya secara sepihak. Tetapi setidaknya ia selalu menemaniku ngobrol
setiap kapanpun itu. Kadang kami hanya melakukan rebahan di pelatar dapur.
Kadang ia mengantarku ke rumah warga. Kadang ia kuajak pergi ke desa sebelah
atau sd seberang. Persis karakter yang kuharapkan sama seperti adik kandungku.
Bisa diandalkan dan bisa ditumbalkan.
Ikbal ini,
orangnya cerdas. Secara akademis, kinestetik dan visual. Ia sering menjawab
soal-soal untuk level lebih tinggi. Pandai main bola dan voli. Kemampuan
menggambarnya hebat. Ia bisa meniru gambar yang aku buat, padahal kebanyakan
aku menggambar tokoh anime masa lalu. Sesekali ia menggambar lagi dengan
imajinasinya. Perwainan warna. Tebal tipisnya garis. Aku suka.
Sesekali kalau
waktu senggang, kami saling mengejek satu sama lain. Bahkan kita berdua punya
julukan nama masing-masing. Aku adudu, dia nguyen. Aku sangat bersyukur bisa
bertemu ikbal.
Teman-temannya
memanggil ia iik. Ibu ayah memanggilnya adik atau angah. Padahal ia anak kedua.
Menurut tata bahasa panggilan urutan nama anak, angah adalah anak paling
tengah. Apakah ibu berencana punya anak lagi setelah ikbal. Hmmm.
Apabila kita
berpegang teguh pada prinsip bahwa takdir masing-masing kita sudah digariskan
dan biasanya sudah ada tanda-tandanya sebelumnya, tergantung kita yang peka apa
tidak. Maka aku percaya. Dulu waktu masih kecil, aku dibelikan sebuah majalah.
Didalamnya ada sebuah komik yang menceritakan tentang seorang anak yang
gatal-gatal akibat digigit nyamuk. Namanya adalah Iqbal. Aku suka sekali komik
ini. Bahkan kalau bisa punya teman atau adik namanya Iqbal. Apabila aku menulis
cerpen, Iqbal adalah salah satu nama yang kupertimbangkan.
Eh, tahun 2017
Tuhan membuatku bertemu dengan Ikbal.
Bapak hanya piwang, Bal.
Comments
Post a Comment