Peringatan Maulid Nabi di Pian Tengah, Natuna

Beda. beda budaya beda acara.
Yang sama adalah, ternyata saya sama-sama tidak mengerti apa yang disampaikan oleh pak Ustad. Di Pagatan, kebanyakan ceramah disampaikan dalam bahasa Indonesia campur bahasa bugis sedangkan di Pian Tengah, bahasa Indonesia campur bahasa melayu yang logatnya cepat. Selama beliau ceramah saya hanya tertawa dalam hati, dimana-mana saya kok dapat ceramah yang bahasanya tidak saya begitu mengerti. Beliau berbicara seperti orang Vietnam dan terkadang seperti orang Thailand. Lucu lah.
Disini, acara ceramah adalah acara inti kemudian dilanjutkan dengan makan-makan kue. Kuenya adalah kue-kue tradisional. Yang menarik adalah ada kue yang  namanya sama tapi beda bentuk kuenya, ada yang sama kuenya tapi beda namanya. Pertama adalah Bingka. Saya tak menyangka jika kue itu adalah bingka karena tak terasa rasa bingkanya. Di Banjarmasin, bingka itu dibakar dan terasa telur serta kelapanya, kalau disini banyak tepungnya dan sepertinya cuma di kukus. Yang kedua adalah kue Paria yang ternyata adalah kue Papari Bakunyung! Mau nangis rasanya makan kue ini, karena saya pernah menuliskan ingin sekali makan kue ini karena kue ini adalah kue langka dan jarang ada yang menjual, ternyata saya malah menemukan dan memakannya di Natuna. Sungguh, jawaban atas doa kepada Allah itu tak pernah kita sangka kapan dapatnya. Bersyukur sekali atas kejadian beberapa hari ini. Oke lanjut.
Di Pagatan jangan ditanya. Heboh. Acara maulid nabi dipersiapkan dengan matang. Mesjid dihias dengan bunga rampai yang digantung. Ada banyak orang yang menyumbang bendera-bendera dan tentu saja, Sokko. Belum lengkap maulid nabi tanpa rebutan sokko. Acaranya juga bukan ceramah saja tapi juga ada maulid habsyi. Meriah pokoknya. Orang tuaku sering sekali menjelajah ke mesjid-mesjid di kampung-kampung karena biasanya lebih ramai dan banyak dapat bendera, juga sokko tentunya. Biasanya juga mesjid, langgar dan surau bersaing siapa yang jumlah sumbangan benderanya lebih banyak, maulid habsyinya lebih bagus, dan siapa yang bisa mendatangkan ustad idola bangsa atau Bupati. Wkwkw.
Sokko adalah Ketan dalam bahasa bugis. Biasanya dibungkus dengan daun pisang dan ditambahkan telur matang atau pisang. Saya ingat, suatu ketika saya diajak kakek saya pergi ke desa Betarang dimana mesjidnya itu mesjid tua dan banyak sekali orangnya. Saya dapat bendera besar yang biasanya dari handuk dan sokko yang dibentuk segi 8. Itu sokko terindah yang pernah saya dapat.

Bendera juga bermacam-macam variasinya. Nenek bugis saya seringkali mendapat pesanan untuk membuat bendera dan bunganya yang terbuat dari kertas krep dan ada tehnik khusus membuat bunganya bagus dan bernilai seni *tsaah. Yang menjadi incaran adalah bendera yang bukan dari kertas tapi dari sapu tangan atau handuk atau surban, dengan bunga yang diganti dengan mie bungkus, kecap, sendok, snack dan diujungnya ditancapkan permen. Asik sekali.

Comments

Popular Posts