Hua Lampong – Butterworth

Saya suka naik kereta api. Alasannya sederhana, karena di Kalimantan Selatan tidak ada sarana kereta api. Kalau bepergian di Jawa, pilihan transportasi saya yang utama adalah kereta api. Pun begitu juga dari Hanoi menuju Ho Chi Minh, saya lebih memilih naik kereta api. Meski ongkosnya lebih malah daripada naik bus, tetapi sesuai dengan kenyamanan yang ditawarkan. Tersedia gerbong restoran dan toilet 24 jam. 

Hari terakhir di Bangkok, saya berencana pergi ke Penang karena tiket pesawat pulang saya pilih dari Penang. Mau tidak mau harus menyediakan waktu di Penang. Saya membeli tiket kereta satu hari sebelumnya di stasiun Hua Lampong. Stasiunnya besar dengan kubahnya yang tinggi tetapi suasananya kuno. Modernitas hanya terdapat pada mesin atm, tv lcd besar yang sedang menayangkan master chef Thailand dan toko swalayan. 
Stasiun Hua Lampong, diambil dari depan
Ternyata tidak bisa beli tiket dengan kartu, harus tunai. Oke. Saya pun menarik tunai di atm yang semua kartu saya ditolak, padahal saldonya masih banyak. Saya pun meminta tolong kepada teman saya untuk transferkan sedikit tambahan uang agar bisa menjadi saldo minimal untuk melakukan tarik tunai di atm Thailand. 

Hedeh ribet yak. Coba tau tarik banyak uang sekalian dan jangan tarik uang sedikit-sedikit. Beruntungnya antrian tidak ramai. Jadi bisa leluasa bolak balik loket dan atm. Di hari keberangkatan saya sudah siap tiga jam sebelumnya, karena malas diburu mimpi buruk ketinggalan kereta. Sudah uang tipis juga. 

Saya duduk di gerbong dan menaruh tas di kabin, kemudian datanglah seorang pemuda yang bawa koper dan terlihat kikuk, seorang kakek yang sudah dari tadi duduk di seberang saya dan seorang kakek lagi yang bawa cemilan banyak.

Kereta jalan dan membelah kota Bangkok melewati area perumahan, pasar dan universitas Mahidol yang saya baru tau kalau Mahidol adalah nama dari salah satu anak raja. Wah saya bersyukur bisa menengok kampus ini sebentar karena univ ini sering saya obrolin sama teman kerjaan sebelumnya. 

Gerbong ini, kami isi dengan tanya jawab antar kami berempat. Pemuda yang didepan saya sepertinya tidak tertarik dan hanya membuka mulut ketika ditanya, padahal bahasa inggrisnya lebih bagus dan lancar daripada saya. Oke. Introvert maksimal nih. Selama perjalanan iya lebih memilih menulis surat di kartu pos. Ia berkata bahwa akan mengirimkan kartu pos dari setiap kota yang ia kunjungi. Berapa lama baru sampai ya dari Kuala Lumpur ke Beijing?

Saya hanya membuka obrolan dengan dua kakek yang penasaran dengan saya. Mereka bertanya dari mana asal saya, abis dari mana, umur berapa dan kerja dimana. Bahkan ngasih saya kopi hmm. Saya berkenalan dengan mereka, satu orang dari Ipoh, satu lagi dari Singapore dan keduanya adalah teman sepermainan yang kebetulan satu gerbong. Seorang kakek suka sekali membeli barang yang dijajakan di dalam kereta. Kacang, kopi, air minum, kue-kue kering, semua diborong, alasannya buat cucunya nanti, eh buset kopi dan kacang kan gimana tuh penjelasannya haha.

Obrolan tambah menarik dan mereka semakin penasaran ketika saya beritahu bahwa saya berasal dari Kalimantan Selatan dan menunjukkan mereka dimana letak kota saya lewat peta di smartphone. Maka obrolan kami pun bertambah banyak dari banjir Jakarta, politik yang herannya aku ikut dan tips jalan-jalan juga tentang cucu kakek tersebut yang suka sekali dengan cemilan. 
Suasana gerbong sleeper kala malam tiba, berubah jadi bilik kasur
Berikutnya kami semua berpisah di Stasiun Padang Besar, dua orang lanjut ke Kuala Lumpur, satu orang turun di stasiun sebelum butterworth dan aku lanjut ke Penang. 

Iya segitu aja ceritanya. Hehe. 
Oh iya, karena pernah tinggal di Natuna, saya mengerti sedikit apa yang kakek-kakek itu omongin. Jadi kami bertiga ngobrol pakai bahasa campur, bahasa melayu, Inggris dan mereka berdua lanjut lagi ngobrol berdua pakai bahasa mandarin. Sebuah gerbong kereta yang ............... menakjubkan. 

Comments

Popular Posts