Sancaka, dia adalah Gundalaku tahun 2019.
Aku merasa bahwa harus menuliskan review ini
sekembalinya aku setelah selesai menonton film yang mengguncang masyarakat
Indonesia, Gundala. Perlu diingat bahwa aku akan berupaya menggunakan bahasa
baku, agar lebih menyesuaikan dengan pengaturan bahasa yang digunakan di film
tersebut. Harap kalian maklum.
![]() |
sumber : liputan6.com |
Untuk keseluruhan, film ini membuat aku
merinding di beberapa adegan. Merinding karena pesan yang disampaikan,
merinding karena tersirat kejadian yang sebenarnya sedang kita alami, ehem
politik maksudnya, dan merinding karena akhirnya Indonesia punya film genre
heroes yang bisa dipertanggung jawabkan. Dulu ada sih, namun aku tidak begitu
yakin. Iya kan, Bapak? .... Bapak?
Aku suka beberapa hal dari film ini. Utamanya
adalah tone warna yang sesuai untuk minat anak muda jaman sekarang, aestetic,
cenderung kusam, redup dan warna-warna yang kalau di buku Munsell termasuk
golongan 5R abu-abu, coklat muda hingga warna baju kerja JBM, wkwkwk.
![]() |
Munsell Color Chart. sumber : id.quora.com |
Berikutnya adalah
setting tempat. Aku tidak
peduli mau film ini syuting dimana, tetapi pemilihan tempat benar-benar
dipikirkan secara detail. Mengambil pabrik sebagai latar belakang,
sepertinya
akan membuat pikiran kita percaya bahwa Gundala lahir dari kalangan akar
rumput. Kemudian, pasar dan pertokoan, keduanya penuh dengan detail dan
itu
penting menurut aku. pasar manakah itu? Pasar sentral Wua-wua? Atau
pasar
modern Madonga? Sungguh keren sekali itu efek ketika pasar yang dibakar
yang ngingetin aku sama pasar Martapura yang juga pernah terbakar, juga
adegan tebas menebas tubuh manusia. Legit. ekeke. Creepy sih jadinya ada
anak segerombolan anak kecil yang malah membunuh orang tua dengan cara
duduk di atas perutnya yang harusnya di usia segitu masih mikir besok
main ps di rumah siapa eh ini malah diam-diam merencanakan pembunuhan.
Creepy. Dark thriller psichological. Apa sih, Bay!.
Sempat beredar di
twitter bahwa sang sutradara
kecanduan dengan ibu hamil dan akibatnya di film ini ada begitu banyak
ibu
hamil, LOL. Juga banyak hal-hal yang membuat saya mengerenyitkan (?)
dahi karena ada beberapa hal kecil yang tidak dijelaskan di film tapi
tiba-tiba menjadi bagian dari cerita, misal kereta yang lewat setahun
sekali. Tapi oke kok, ngerti banget kalau film ini adalah gerbang awal
dari Bumilangi Cinematic Universe. Kalau Bumi Cinta mah Kang Abik ya,
hehe, teretek dung cess, gak lucu, Bay.
Dialognya cenderung datar, tidak banyak emosi
dan disampaikan agar kesannya bahwa keadaan sedang perang. Bunyi sedikit akan
membuat gaduh di seberang. Banyak line dialog yang membuat aku kaget, misalnya
ketika si Tara Basro tiba-tiba bilang ke
Sancaka siapa ibunya padahal tidak ada yang tanya. Tetapi aku paling menyukai
dialog si Teddy, oh iya, jangan Teddy deh, ganti coba menjadi Mawasangka atau
Baruga.
Tapi beberapa villain aku lihat menyerupai
tokoh yang pernah aku tonton di film luar, seperti chef dengan banyak pisau,
kemudian wanita gila yang suka teriak, tetapi aku salut banyak villain yang
benar-benar total dan bisa diperhalus lagi gerakan berantemnya agar tidak
nanggung karena warga +62 suka melihat orang bergelut. Seperti
saat Gundala didatengin sama mas Pengkor dan anaknya di pabrik, ada
satu cewek yang mau berantem malah buka jaket, mungkin akan terlihat
sexy keren dan mengingatkan saya film kungfu jadul tapi terlihat
awkward, bahkan Gundala atau Teddy atau malah Pak Agung akan berkata
dalam hati, anjir ngapain lu buka jaket, canggung gitu.
Poinnya lagi adalah banyak kearifan lokal tanah
Jawa yang diangkat. Apakah kearifan lokal Kalimantan juga akan diangkat?
Seperti apa ya, Bay? Apa ya …..mandau yang bisa terbang sendiri mungkin hehe.
Gundala adalah harapan bagi warga di filmnya.
Juga bagi masyarakat Indonesia akan film yang bisa memenuhi Marvel khas Indo. Dulu
ketika masih puber, saya suka menulis cerita fanfiksi dari film dan serial hero
yang saya reka ulang dengan gaya khas Indonesia. Misal power rangers dengan
kekuatan dari 7 gunung berapi :D atau dari hewan khas Indonesia. Gundala sudah
mewujudkannya. Aku mengucapkan terima kasih karena Gundala mewakili perasaan
pemuda puber yang ingin berkarya tapi nanggung di masa Chunibyo-nya.
Hai Gundala. Aku fans barumu.
Comments
Post a Comment