Bagaimana kalau mikrofonnya jatuh?
Di penghujung bulan Juli 2016, tanpa sadar aku mengatakan kepada pewawancara bahwa hal yang mungkin akan membatasi gerakku untuk berkembang adalah komunikasi. Jauh secara sadar aku juga meyakini bahwa aku masih terbata-bata apabila berkomunikasi, terlebih dengan orang yang baru ditemui dan orang banyak. Alasanku banyak terutama kalau harus menjawab pertanyaan dalam keadaan spontan. Jadi ingat kekalahan tim cerdas cermat sewaktu SMA haha.
Entah kenapa aku menjawab seperti itu. Padahal masih banyak orang yang bahkan ketika menyampaikan sesuatu masih lebih buruk dibandingkan denganku. Namun aku merasa bahwa kemampuan aku berkomunikasi juga tidaklah buruk. Kalau presentasi hayok aja aku yang maju, tapi kalau debat hmmmm aku kan tipe yang perlu banyak mikir haha.
Namun ternyata, setahun belakangan aku malah harus dan mau tidak mau harus setiap hari berkomunikasi. Setahun bersama mereka yang bisa kujadikan panutanque untuk bisa berkomunikasi dengan baik. Ada Dita yang lancar jaya kalau komunikasi dengan pejabat penting. Ada Latin yang seringkali mengoreksi ejaan bahasa Inggrisku. Ada Hanna yang suka sekali mengoreksi redaksi baik lisan dan tertulis, abisnya anak komunikasi sih. Ada Cece yang bisa berkomunikasi secara santun meskipun keadaan hati sedang macam-macam. Ada Rustam si orator yang kalau berkomunikasi, saya harus menerka dan mencocokkan dengan perbendaharaan kata yang saya punya. Ada Pahala yang dalam diamnya bisa mengeluarkan kata yang mempunyai maksud yang dalam dan ada Akbar yang pandai berkomunikasi dengan siapapun tanpa membuat siapapun lebih tinggi dan rendah. Waw, saya belajar banyak. Bahkan siapapun yang saya temui, saya diharuskan berkomunikasi dengan baik bahkan bukan dengan bahasa Indonesia, karena tidak semua orang paham dengan bahasa Indonesia.
Siapa sangka doa saya tentang āingin belajar berkomunikasiā dijawab dan saya merasa mendapat beasiswa pelatihan komunikasi. Saya bersyukur. Siapa sangka kekhawatiran yang saya tulis sebelumnya, malah menjadikan saya dididik secara tidak langsung dan setiap hari mempraktikakannya. Termasuk kepada anak-anak, masyarakat desa dan para pemangku kepentingan.
Efeknya adalah saya semakin merasa menikmati dan santai ketika harus berkomunikasi dengan orang baru. Seperti kemarin-kemarin. Meskipun masih banyak kekurangan saya tetap dipaksa untuk berbicara dihadapan orang banyak. Gelaa aje, sedari kapan saya menjadi motivator ā¦ā¦ā¦ā¦ā¦.
Kali pertama adalah ketika saya menjadi narasumber untuk briefing kelas inspirasi Banjarbaru. Saya mengiyakan saja karena saya begitu penasaran dengan Kelas Inspirasi. Ternyata diluar ekspektasi lagi. Saya pikir akan seperti didalam kelas atau setidaknya lebih santai kaya ngobrolin skema MLM di kafe atau di kebun cantik, ternyata ya rabb seperti seminar hehe. Yasudah, maju aja. Alhasil saya demam panggung.
Kali kedua adalah saat diundang atau lebih tepatnya dipaksa bercerita (haha) oleh Himagrotek dan IAAS LC ULM (sayang kalian <3) didepan audiensi tentang Indonesia Mengajar dan kisah saya selama setahun di Natuna. Iya saya perlu ini. Saya perlu sekali melampiaskan tumpukan kata-kata yang telah terkumpul semenjak saya pergi dari tanah Kalimantan. Kebetulan sekali ada panggungnya. Ya sudah saya bercerita lepas. Sudah saya duga beberapa pertanyaan akan diikuti dengan perasaan emosional karena setahun disana benar-benar tidak bisa dilepaskan saking menempel dengan kuat. Terlalu lekat kayak ampas kopi di pinggir gelas kaca.
Ketiga kalinya adalah saat saya
diminta mengisi sesi inspirasi untuk anak-anak osis dan ekskul lain di SMK
Tunas Bangsa Batulicin. Saya diwanti-wanti untuk menceritakan pengalaman saya
saat kuliah dulu yang mungkin bisa dibilang pengalaman langka. Iya, pergi ke
Jepang dan Vietnam adalah akumulasi doa yang terkabulkan saat saya benar-benar
sudah siap meski saya harus usaha lebih keras dibandingkan orang lain. Saya
menikmati, ketika berbicara di depan mereka dan berinteraksi dengan mereka.
Senang saja.
Dulu-dulu berbicara di depan umum adalah hal yang sangat saya hindari. Memegang
mikrofon saja saya selalu gugup. Bagaimana kalau ternyata mik-nya jatuh,
bagaimana kalau suara saya tercekat, bagaimana kalau ternyata suara saya
menjadi suara perempuan dan bagaimana lainnya. Beruntung saja, semua sudah berkurang
sedikit demi sedikit.
Intinya saya mau berkata terima kasih kepada Interviewer saya, seorang dosen yang berkata : Kamu punya potensi untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi kamu yang lebih baik, kamu hanya perlu percaya itu. Iya, saya sudah percaya, bahkan ketika saya sudah mulai tidak percaya, saya tinggal menghubungi orang-orang yang akan percaya dengan saya :)
Comments
Post a Comment