Sengaja pergi ke Aluh-aluh


Saya sudah lama mendengar nama Aluh-aluh, tapi niat pergi kesana belum ada. Selain tidak ada keperluan juga tidak ada hal menarik dari sana. Bisa jadi saya saja yang memang tidak pernah mendengarnya.

Siang itu, saya bersama seorang teman sengaja pergi ke Aluh-aluh. Tidak ada niat apapun, kali ini kami memang sengaja karena kami berdua sama-sama tidak pernah ke Aluh-aluh dan saya malas pergi sendirian, jadinya menyeret orang yang bisa diajak kesana yang oke oke saja kalau harus naik motor.
 
Kami berdua berangkat pagi hari dari Banjarbaru dengan naik motor dan menuju arah Banjarmasin. Melewati bundaran Liang Anggang, kami berbelok menuju ā€˜jalan tolā€™ arah Trisakti dan kemudian belok kiri sesuai arahan google maps, lalu lanjut menyusuri jalan yang sesekali berlubang sesekali beraspal mulus dan sesekali perlu ā€˜bahayauā€™ atau melewati genangan air.

Perjalanan kali ini benar-benar tanpa tujuan dan hanya mau melihat ada apa di Aluh-aluh. Alasan ini sebenarnya karena jengah tidak ada informasi apapun tentang Aluh-aluh, baik itu tempat wisata ataupun hal dasar lainnya. Aluh-aluh terasa seperti daerah yang terpinggirkan sekaligus terlupakan keberadaanya. Alasan lainnya adalah bosan dengan tujuan wisata alternatif ataupun mainstream lainnya. Berbekal tanpa informasi apapun tersebut, kami tetap melajukan motor kami ke Aluh-aluh dan menikmati pemandangan sepanjang jalan.

Begitu memasuki kecamatan Aluh-aluh, maka kondisi jalan akan semakin mengkhawatirkan, apalagi yang naik motor matic pendek. Kebanyakan pemandangan yang tersaji adalah sawah yang menghampar luas, sedangkan perkampungan penduduk berkumpul spot-spot dan tidak berderet sepanjang jalan raya atau sungai pada umumnya.

Bagi yang bosan dengan suasana kota dan kemacetannya, jalan-jalan ke Aluh-aluh memberikan suasana yang berbeda. Kehidupan warga yang santai, sungai yang sepi, sawah dan tidak ramai oleh kendaraan lalu lalang.

Kami pun meneruskan jalan menuju ujung aspal karena penasaran dimanakah jalan ini akan berujung.

Rupanya jalan aspal akan berakhir di sebuah pasar kecil yang bersebelahan dengan dermaga kayu. Kalau dilihat sekilas, mirip dengan suasana pasar senggol di beberapa kota di Kalimantan Selatan. Sebuah pasar dengan dominan kayu yang terdiri dari kios-kios kecil berdampingan yang terletak di pinggiran sungai. Biasanya pasar ini akan satu paket dengan dermaga kecil tempat perahu merapat dan naik turun penumpang.

Dermaga samping pasar Aluh Aluh

Seorang bapak menanyakan kami apakah ingin menyeberang ke desa seberang, namun melihat jam sudah siang, kami tidak mengiyakan hal tersebut dan mungkin akan mencoba lain kali. Padahal sepertinya akan sangat seru jika naik perahu dan menyusuri aliran sungainya melewati kampung-kampung di Aluh-aluh, tapi mungkin akan lebih baik jika dilakukan sore hari sekalian dan bukan di saat matahari tepat di atas kepala. Panasnya mambarangat alias menyengat.

Kami berdua memutuskan untuk mencari makan siang dulu, yang sebenarnya ide saya sendiri karena anaknya strict to jam makan, haha. Jadinya kami berbalik arah dan menyusuri jalan setapak yang terbuat dari kayu yang mengarah ke pemukiman warga di kiri kanannya. Rasanya seperti berkunjung ke rumah nenek ketika lebaran. Kami meneruskan jalan hingga tiba di ujung titian kayu yang mengarah ke jembatan gantung

Jembatan gantung di Aluh Aluh

 

Jembatan ini lumayan panjang dan masih terlihat kokoh. Di ujung jembatan terdapat rumah-rumah warga lagi dan sebuah warung kecil yang seperti warung makan. Kami meneruskan jalan lagi ke arah kiri dan masih menyusuri titian kayu melewati rumah warga, langgar dan berakhir di sebuah bangunan seperti aula terbuka yang sudah ditinggalkan. Mungkin dulunya tempat ini adalah pasar pengganti yang lebih modern dan lengkap dengan dermaga dan jembatan beton yang lebih luas. Tapi sayang sekali tidak dimanfaatkan dengan baik, mungkin karena lokasinya yang lumayan jauh dari pemukiman penduduk.

Setelah puas foto-foto, kami pun kembali ke jembatan gantung dan makan siang di warung makan yang berada di ujung jembatan. Kami makan mi bekuhup alias mi yang dimasak dengan cara menambahkan air panas ke dalam bungkus mi dan menutupnya, jadi tanpa dimasak dengan api langsung.

Setelah istirahat dengan cara makan mi dan pentol goreng, kami bermaksud untuk pulang karena hari sudah semakin siang. Kami melewati titian kayu sekali lagi yang mengarah ke pasar senggol tadi. Kami berhenti sejenak di sebuah pancarikinan atau bahasa Indonesianya adalah toko kelontong. Sebenarnya toko ini tidak ada yang unik, dan saya singgah sebenar karena membeli kopi botolan, namun memperhatikan sembako yang dijual adalah salah satu aktivitas wisata juga bukan? Misalnya kecap atau saus tomat yang dijual. Biasanya tiap pasar atau tiap daerah menjual produk kecap yang berbeda-beda.


Begitulah sedikit pengalaman sengaja jalan-jalan ke Aluh-aluh dan akhirnya rasa penasaran akan daerah ini sudah terjawab. Apakah Aluh-aluh menarik untuk dikunjungi? Tergantung niat dan tujuan. Kalau nyari wisata alam yang ada aktivitasnya ya mungkin akan kecewa, apalagi niatnya mau foto-foto untuk kebutuhan konten, akan tambah kecewa. Tapi kalau untuk sekedar menyegarkan pikiran? Mungkin Aluh-aluh bisa jadi pilihan wisata selanjutnya ya.

 

 













Comments

Popular Posts