Sepanjang Jalan Sulawesi Tenggara

Sejak tinggal di Sulawesi tenggara selama kurang lebih dua tahun, ada beberapa hal yang saya patut syukuri dan kagumi. Sekaligus beberapa hal tampaknya bisa bikin mengkrenyitkan dahi. Yah, dimanapun di bagian Indonesia ini pastilah ada saja hal-hal yang menjadi sebuah ke-shock-culture-an kita sendiri terutama yang tinggalnya di pulau selain Sulawesi. Bisa jadi shock culture itu berupa perbedaan bahasa, rupa dan rasa makanan juga adat istiadat. Seringkali ketika menemuinya, tinggal ketawa saja lah meski awalnya bengong juga.

Sebagai oportunis, jalan-jalan keliling Sultra adalah salah satu hal yang harus saya realisasikan. Sejak tau penempatan Bombana, saya sudah riset duluan apa saja tempat wisata yang ada, spot wisata orang lokal, makanan khas daerah sana dan berapa lama menuju kabupaten sebelah. 

Sayangnya, semuanya kesampaian ketika hendak resign. Makanan khas aja gak sempat nyobain. Yah, namanya juga bekerja di perkebunan, bukan kerja di tengah masyarakat sambil sesekali ngetwit dan scroll instagram.

Hal pertama yang sangat saya kagumi di Bumi Anoa ini adalah: pemandangan sepanjang jalan. Hal ini saya tuliskan karena sudah berulang kali pulang pergi Bombana-Kendari jalur Konsel, jalur Moramo dan jalur Kolono. Ditambah rute Bombana-Baubau pulang pergi, juga rute Kolaka-Bombana. Semuanya indah dan sesuai ekspektasi saya.

Indah bagaimana yang saya maksud?

Jalur Bombana-Kendari tipe biasa akan melewati kabupaten Konawe Selatan yang memiliki Taman Rawa Aopa Watumohai. Kita akan berkendara membelah taman nasional ini dengan jalan aspalnya yang mulus. Rutenya lurussss aja, terkadang ada belokan dan melewati jembatan kecil. Di jalan yang lurus, kadang angin akan menerpa kencang. Apalagi kalau sudah hujan deras, beuh, anjir, airnya menusuk sampai ke badan dan anginnya bikin miring-miring. 

Kalau melewati saat subuh menjelang pagi, pemandangan kabutnya bagus banget. Kalau lewat sore hari, langit sulawesi menampilkan semburat warna-warna yang bagus. Gradasi warna dari merah, jingga kuning, biru dan nila semuanya berhamburan dan kadang berbaris kaya kue lapis. Ditambah kawanan burung migrasi yang terbang dalam jumlah banyak. Pemandangan 'aneh' berikutnya adalah ketika di bulan Desember, sepanjang jalan akan ditutupi oleh alang-alang putih. Bak permadani? ya, tidak berlebihan. 

Yang tidak enak dari rute ini adalah harus melewati tanjakan Wolasi (waw aku masih ingat nama tempatnya meski tanpa googling). Sebagai pemilik perut lemah, saya mudah mabuk oleh jalanan yang tidak rata atau yang banyak berkelok. Wolasi? Hm ini level lain. 

Tanjakan Wolasi, saya ibaratkan persis naik-naik ke puncak gunung dan berkelok, turunnya juga berkelok dan aspalnya banyak yang hancur. Tersiksa lah. Tapi udaranya segar dan sejuk karena dikelilingi hutan lebat dengan batang pohon yang besar di pinggir jalan. Ada satu sisi bukit yang terbuka dan terlihat lapisan batuan penyusunnya yang kata teman saya adalah kemungkinan memiliki kandungan grafit, itu loh bahan baku pensil. 

Rute selanjutnya adalah Rute Kendari-Moramo-Punggaluku mengambil arah menuju air terjun Moramo yang sama-sama berlokasi di Konawe Selatan tapi menyajikan pemandangan yang berbeda. Rute ini memiliki lebih banyak jalan yang berkelok dan melewati pinggir pegunungan. Pertama kali melewati rute ini adalah saat libur idul fitri yang ditemani oleh hujan lebat sepanjang jalan yang kemudian memutuskan beli jas hujan di Indomaret di tengah hutan pegunungan Sultra haha. 

Rute ini akan membawa kita menembus hutan dengan tebing di kanan jalan sedangkan pada sisi kiri jalan ada pemandangan laut sulawesi atau desa-desa atau hutan rumbia atau pabrik dengan cerobong asapnya. Suasananya sepi dan sepanjang jalan yang terlihat adalah kabut di puncak bukit di ujung jalan. Yang paling saya suka adalah ketika sudah mencapai belokan di atas gunung sesudah kawasan hutan Moramo, kita bisa berhenti sejenak di sisi jalan raya dan memandang laut sulawesi dengan birunya dari ketinggian. Oh iya, pastikan membawa jas hujan dan bensin isi full tank.

Rute selanjutnya yang saya suka adalah Kendari-Konawe, tepatnya ke Unaaha.

Saya baru dua kali melalui rute ini sehingga tidak begitu ingat jadi hanya akan menjelaskan spot yang saya ingat banget. Menuju Unaahaa akan melalui kelokan untuk memutari sebuah bukit berbatu yang agak mirip lah sama Kalimantan untuk kiri kanan jalannya yang lumayan lebat hutannya. Kemudian akan melewati sebuah jembatan yang terakhir kemarin sedang dibangun ulang karena jembatan lama hancur diterjang banjir besar yang memisahkan tiga daerah (kalau tidak salah) Kendari, Konawe dan Kolaka timur (?). Sungai apa ya? Sungai Kolono mungkin namanya. 

Yang menarik adalah ketika melalui jalan Unaahaa menuju Bombana lewat jalur Landono dan Motaha. Sepanjang jalan adalah rumah-rumah warga yang sederhana dan khas sulawesi. Rumah mereka rata-rata terbuat dari kayu dengan jendela yang banyak jeruji kayunya sehingga menimbulkan citra khas. Bentuk bubungan atapanya juga kupikir khas, tajam dengan bentuk lain di bawah runcingnya tersebut. Susah juga ya menjelaskannya. Umumnya, rumah mereka tidak punya teras atau pelataran sehingga ketika buka pintu depan maka akan langsung tanah pekarangan. Tapi ada kok rumah yang sudah beton dan tampak modern. 

Nanti, rute ini akan melewati jembatan panjang yang saya pikir lebih cocok menjadi jembatan kereta api dibandingkan jembatan untuk mobil atau orang saking rendahnya rangka pagarnya dan sempit. Jembatannya melewati sebuah sungai besar juga deras. Tampak beberapa orang sedang memancing tapi tidak ada yang berenang karena kabarnya banyak buaya di sini.

Rute Bombana-Kolaka persis seperti lagunya pak Ismail Marzuki ft Tetty Kadi. Sepanjang jalan rayuan kelapa. Iya sepanjang jalan adalah pohon kelapa berbaris-baris. Tapi entah kenapa terlalu rapi urutan tanamnya dan dilapisi oleh rumput hijau bak karpet. Sesekali terdapat tumpukan cangkang kelapa kosong. Terkadang di sisi jalan juga ada jemuran daging buah kelapa yang sepertinya akan dijadikan kopra. Karena rute ini berada di sepanjang garis tepi pantai, tentu pantainya sangat menarik sekali dilihat ketika sedang berkendara.

Ada satu bagian yang paling sangat saya suka dari seluruh rute perjalanan selama di Sulawesi Tenggara. Terletak di lepas Kasipute dan sepanjang jalan desa sampai sepanjang desa, berupa sebuah jalan lurus beraspal mulus diapit kiri kanan oleh sawah dikeliling oleh bukit batu. Sempurna. 

Kalau kita kebetulan berkendara di akhir musim kemarau, pohon-pohon akan mengeluarkan bunganya dan sangat kontras warnanya. Saya sempat mendiskusikan hal ini dengan teman saya perihal kenapa bunga-bunga di sulawesi tampak lebih kokoh, terang dan lama mekarnya. Dugaan kami karena tingkat stress mereka terhadap kekeringan alias bentuk adaptasi mereka terhadap iklim sulawesi yang agak kering.

Nah, jalan-jalan di Sulawesi tidak lengkap tanpa kuliner.

Saya adalah fans Mie. Dijual dalam bentuk apapun, kemasan apapun, topping apapun, saya akan tetap suka. Semakin aneh campurannya atau bahan baku mienya, saya akan semakin terangsang untuk segera mencobanya.

 

Mie Aceh

Sudah kepalang kangen dengan mie basah, jadilah pergi ke Kendari dan nemu warung makan yang jualan mie aceh bekal rekomendasi sebuah akun kuliner. 

Rasanya? Yah lumayan lah, memenuhi rasa tapi tidak untuk ekspektasi. Kurang kuat bumbunya sih, tapi lumayan ada disediakan bawang merah mentah. 

 


Mie Ayam Pak Jajang, SP2

Kalau ini bukan karena pengen tapi karena emang lapar aja. Sebagian besar wisata kuliner saya di Sultra hanya berkisar tentang per-mie ayam-an saja. Sesekali makan ikan tapi rasanya sulit menyukai ikan karena masaknya hanya bakar dan bumbunya ya begitu-begitu saja. Lebih baik ikan bakar di rumah warga.





Mie Ayam Kasipute Ujung

Coto Makassar di Rate-Rate

Mie Ayam Cumi


Kwetiau Watu-watu Kendari

Nasi Kuning di Kendari

Ayam geprek (katanya)


Mie Pangsit Kadia


Comments

  1. Mengapa banyaaak sekaliii mie ayam dan mie mie an 😭
    Bikin ngecessss

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts