Simpan Kecewamu, Kawan!
Kita banyak
menelan kekecewaan. Semakin bertambah usia kita, makin banyak jumlah kecewa
yang kita terima setiap harinya. Sampai-sampai kita menggerutu kepada Tuhan. Mengapa
hidup kita berada di sekeliling orang-orang yang nampaknya suka sekali berbuat
jahat pada diri kita. Tulisan kali ini tidak untuk memahami perasaan orang
lain, bukan pula untuk melihat sisi baiknya, aku sedang membagikan sederet
kekecewaan. Kalau kamu merasa tambah depresi setelah membaca pragraf satu,
lebih baik tinggalkan segera. Segera.
Orang-orang
bilang, kecewa adalah perasaan yang sulit sembuh. Lebih-lebih luka. Ia digores
di hati kita hanya untuk memberitau bahwa kita manusia. Mudah dilukai. Sekeras apapun
wajah kita, setangguh apapun hidup kita, sepahit apapun jalan kita, sebagai
manusia kita wajib menerima kecewa.
Anehnya,
semua orang merasakannya. Meski dalam bentuk yang berbeda-beda.
Ada yang
disebabkan karena orang didekatnya, televise yang ia tonton, cerita teman
baiknya hingga perkataan orang tuanya sendiri. Meredam? Mudah dilaksanakan. Tapi
seperti luka yang mengeluarkan darah, ia merembes. Meski sudah sembuh, bekas
luka itu ada setiap kali bercermin. Bahkan luka kecil di ujung siku. Kita yang
ingin melihatnya lagi. Memang aneh.
Aku masih
ingat kecewa yang kudapat selama selawi abad hidup. Dimulai dari anak-anak,
beranjak ke sekolah dasar, sekolah menengah pertama lanjut ke tingkat atas. Berhenti?
Hendaknya. Perkuliahan hingga sekarang ketika sudah punya jabatan dan gaji
sendiri.
Bagaimana rasanya?
Macam-macam. Ada yang terasa seperti sebagian dari diriku hilang, tertinggal,
dihancurkan oleh pemukul besar sampai remuk. Retak. Salah satunya adalah ketika
ada anak muridku di Natuna yang berkata bahwa ia akan melanjutkan smp di
seberang pulau. Rasanya seperti adik sendiri yang akan diambil orang. Dilenyapkan.
Mbuhlah. Aku kecewa pada diriku yang saat itu tidak bisa berkata bahwa ‘it’s
okey’ bahwa itu adalah pilihan yang bijak sembari juga marah pada orangtuanya
mengapa tidak disekolahkan di desa saja padahal sudah ada SMP yang dibangun. Kecewa
pada pilihannya yang memilih untuk lanjut di seberang pulau padahal ia juga
bisa memilih untuk lanjut disini. Kadang, kecewaku tidak beralasan. Satu-satunya
yang menjadi alasanku adalah mungkin, selama 6 bulan kedepan aku tidak melihat
wajah anak ini. Kecewa berhubungan dengan ketakutan atas kehilangan seseorang.
Lain waktu
aku pernah kecewa. Pada jadwal penerbangan yang delay sehingga membuat semuanya
terasa lambat dan berpikir ini rugi. Pada sinar matahari yang terlalu terik
sampai-sampai tidak sampai berlindung. Pada tukang ojek yang lambat sekali
membawa motornya. Pada atasan yang sembarangan sekali menilai hasil kerja
orang. Pada sistem pendidikan yang masih jauh dari kata baik. Juga pada
birokrasi pemerintahan yang bikin kita bolak-balik mengurus satu surat. Apalagi
kepada Pak Polisi yang tiba-tiba muncul di pertigaan dan menilang.
Hei. Dari kecewa
aku belajar bahwa kecewa yang kurasakan membuatku berpikir bahwa hidupku asik. Terlalu
banyak kecewa membuatku mengerti diriku sendiri. Artinya bahwa aku punya standard
sendiri akan satu hal. Memahami diri sendiri dari perkara rumit macam ini juga
bukan hal yang mudah. Hal inipun baru saja aku sadari.
Hal ini
berujung pada marah dan kesal. Kecewa yang membuat kita menghela nafas dan
memikirkan hal yang tidak-tidak. Aku tidak akan menyebutnya berprasangka negatif
karena prasangka negatif itu sulit ditafsirkan. Intinya adalah, terima saja. Kecewa
adalah bagian dari perjalanan hidupmu. Tidak apa-apa menyimpan rasa kecewa. Dunia
tidak akan berubah menjadi lebih buruk kok. Melawanmu juga tidak. Apalagi menjadi
keadaan yang seperti kamu inginkan. Sudah kecewa hari ini? Hahahaha.
Comments
Post a Comment