Rindu Naik Pesawat
Pandemi sudah berjalan 1 tahun lebih kalau dihitung sejak pertama kata
ini muncul dan booming. Kalau sejak angka dibelakang kata covid, berarti juga 1
tahun lebih dikit. Ye sama aja dahal. Rasanya banyak hal menjadi berbeda.
Orang-orang mulai sensitif perasaan, kerjaan beralih ke digital, beramai-ramai
mencari hobi baru hingga samapi ke level menentukan istilah sendiri.
Tapi jujur, satu hal dari banyak hal yang paling dirindukan sebelum pandemi adalah bebas naik pesawat. (Kayak banyak duit Bay. Gaya bener. Buset). Eits, jangan sedih jangan iri. Tiket sekarang terjangkau. Pemasukan juga lumayan, meski Indomie kebangganku dan teman baik perutku. Alias tidak semahal yang dulu, belinya juga mudah, tidak perlu survey ke agen-agen tiket.
![]() |
Don Muang Airport |
Lagipula, kan gak setiap hari naik pesawatnya. Selama 2018-2019 ya paling tiga sampai enam bulan sekali naik sih (makin gaya, parah), tergantung jadwal libur dari kerjaan kan. Alias, pintar-pintar menyusun siasat siapa yang gentian liburnya di tanggal segini di antara karyawan baru hha.
Sekarang juga bisa kan naik pesawat, tapi rasanya aneh, pakai masker,
makin peduli dengan kebersihan, takut tertular, meski imun dan iman memadai.
Perlu dilengkapi dengan surat dari RT, tes PCR lah,swab lah, antigen lah, fyuh,
duit lagi buooos.
Ya sudahlah, apa mau dikata, jadinya cuma bisa melihat foto template
ketika naik pesawat, yaitu foto view awan atau sunset dengan frame jendela
pesawat ditambah potongan sayap pesawat. Begitu artsy dan memanen like serta
pertanyaan, mau kemana?
Mari mengenang masa-masa ketika naik pesawat dalam keadaan normal dulu
(ceilah lagak lu kayak sering banget naik pesawatnya sih Bay).
Pertama kali
Ke Jakarta lah, tahun 2013, Bersama rombongan. Naiknya maskapai singa
merah (bukan partai ya). Sudah kenyang mendengar review orang di sekitar yang
mengatakan naik maskapai ini gak enak dibanding maskapai dalam negri (ini
bahasan orang Pagatan biar dikira orang kaya gara-gara sering naik pesawat
wkwkwkwkw). Dulu kan belum populer ya aplikasi beli tiket online, sama review
blog juga masih sedikit, jadi belum banyak ekspektasi dan mencoba menikmati
kejutan.
Eh ternyata begitu, naiknya aman, saat pesawat mendarat, jujur agak
deg-degan takut tergelincir. Ternyata pesawat turun dengan menghujam aspal dan
berasa taksi kolt saat lewat jalanan rusak bergelombang. Otomatis badan juga
refleks ke depan kan, kulihat orang sekitar ikutan menahan kursi depan dengan
kedua tangan mereka. Dalam pikiran saat itu adalah : is it normal?
Begitu turun dari pesawat dan menginjak lantai Bandara, telinga
berdenging juga, rasanya aneh dan lagi-lagi bertanya is it normal? apa ini
karena gigi bolong? kok yang lain fine-fine saja ya. Ternyata masalah ini ada
triknya hehe, cukup tahan nafas dan keluarkan udaranya lewat telinga. Selesai
perkara.
Kedua kali
Ke Jakarta lagi hehe, ada acara lah pokoknya, di 2013 lagi. Kali ini
sendirian. Benar-benar menikmati journeynya (overheard meeting). Perasaan
sombong itu pun muncul, kayak udah hafal sudut bandara, gak perlu tertipu
asuransi bohongan, gak usah sok beli makanan di dalam bandara, juga trik supaya
naik pesawat duluan haha.
Ini penting sih, biar gak rebutan aja. tapi setelah beberapa kali
jadinya malah, terserah lah yang penting naik, mau urutan ke berapa, toh urutan
masuk dan posisi kursi tidak menentukan prestasi. Yang penting di kursi
pesawatnya ada majalah buat bacaan dan dekat jendela biar bisa tiduran
nyender.
Pulangnya, cobain rute baru dari Bandung ke Banjarmasin. Kaget sih,
bandaranya sama aja kaya bandara di Banjarmasin rupanya, hehe, termasuk kecil gedungnya,
berada di pangkalan militer, bisa naik angkot kesana dan kalau mau boarding
naiknyake lantas atas kaya lewat lorong di wahana rumah tua, hehe. Suasanyanya
agak gelap dan karpetnya juga warna gelap. Lebih crowded juga.
Ketiga kali.
Ke ……. Jakarta lagi haha. Jodoh banget ya dengan rute ini (padahal baru
tiga kali) Mau gimana lagi ya. Kali ini bawa pasukan banyak dan rempong banget
wkwkw. Kebanyakan juga pertama kali naik pesawat jadinya malah heboh sendiri.
Ada yang tangannya gak nyampe mau pencet tombol ac, ada yang nyariin seatbelt,
ada yang ngerasain berdengin telinganya haha. Repot.
Seterusnya kali
Akhirnya debut juga perjalanan pertama ke luar Negri. Maret 2015. Yuhu.
Makin udik lah diri ini yakan. Banjarmasin - Jakarta - Singapore - Vietnam. Pertama
kali rute panjang meski pake transit dua kali dan melewati imigrasi.
Saya merasa sudah siap, bawa koper beroda pinjam milik teman. Eh ketika
di screening bandara Changi, risletingnya rusak dan gak bisa dibuka sama sekali
wkwkw, panik lah, mana antrian panjang kan. Petugasnya bilang kayak ada botol
air minum di dalam koper, padahal isinya baju mahal beli di distro di
Banjarbaru (sebagian pasar Martapura kok). Untungnya diloloskan dan alhasil,
terbang dengan rasa was-was takut isinya berhamburan melihat perlakuan koper
ditimbai-timbai, rupanya nggak ya, ada kantong lagi di dalam kantong.
Ini juga seru sih, jadi pengalaman pertama menginap di Bandara Changi
dan gak bisa tidur karena lampunya menyala 24 jam dan orang-orang lalu lalang
rame banget padahal dini hari wkwkw. Jadinya keliling bandara dan nyari spot
gelap sepi dan tidur di sudut yang jauh dari sorot lampu.
Awalnya sempat ragu, karena merasa tertekan harus speaking in English,
padahal mereka terima Bahasa melayu wkwkw. Ada ibu petugas yang ngajarin, harus
keluar imigrasi dulu, baru masuk lagi, baru bisa tidur di bandara. Iya, tengah
malam, geret-geret koper beroda, pake jaket tebal khas anak kampung, keliling
bandara karena lambat mengerti ruangan imigrasi dimana haha.
Selanjutnya lagi
kalau biasanya ke bandara kaya orang udik yang pake sepatu, baju jaket
dan celana panjang, akhirnya mulai berani coba-coba pake sendal jepit, celana
pendek dan memanggul ransel juga nyobain naik maskapai baru, yang pakai pantun
itu tuh. Lumayan ada pengalaman berbeda, kertas tiketnya lebih tebal, bukan
kaya kertas printer kasir jadi bisa dipakai buat pembatas buku. Warnanya
mencolok pula.
Kali ini rute pendek aja, 50 menit. kayak Pagatan – Batulicin – Kapet.
Alias rute Banjarmasin – Surabaya. Ngapain ke Surabaya? Adalah pokoknya urusan
orang besar.
Baru tau bandaranya besar dan terletak di luar kota. Keluar bandara
danpertama kali instal gojek dan gojeknya masih bisa masuk bandara wkwkwkw, ini
tahun 2015. Meski bapaknya bilang takut digebukin, hehe, maaf pak. Dari Bandara
Sidoarjo menuju penginapan, kami berdua cuma lewat jalan-jalan kecil dan gang
sempit wkwkw.
Itu dulu sih. Sekedar meluapkan perasaan kangen naik pesawat aja.
Tiba-tiba teringat, di kelas 8 SMP. Seorang guru menjelaskan bahwa zat
itu ada 5, selain padat, cair dan gas, seakrang ketambahan emulsi dan kabut.
Kabut dijelaskan dengan mengambil contoh awan. Bagi orang Pagatan, awan terlalu
tinggi untuk dibayangkan, alias ya gambarannya hanya putih dan tampak ringan
seperti kapas.
Guru tersebut kemudian bertanya, siapa yang pernah merasakan turbolensi
saat naik pesawat?
Waw, kata yang indah, turbolensi, apa ada hubungannya dengan power
ranger turbo? mobil dong?
ada satu anak yang mengangkat tangan, ia menjelaskan saat naik pesawat
rasanya seperti berada di dalam angkot dan melewati jalan bergelombang. Nah itu
saat kita menembus awan.
Oh. Saya cuma angguk mencoba paham, entah kapan bisa merasakan.
Sepuluh tahun kemudian, baru mengerti dan merasakan contoh dari
pelajaran saat SMP silam. Nikmatnya.
Comments
Post a Comment