Naik bus dari Siem Reap menuju Vientiane


Saat akhir tahun 2018 lalu, saya berniat untuk melewati Negara di ASEAN via jalur darat. Motivasinya ya penasaran saja. Akhirnya nemu satu orang yang bisa diajak berkompromi dengan ketidakpastian tersebut. Kami memutuskan untuk memulai perjalanan dari Hanoi dan terus turun ke selatan hingga sampai di kota Ho Chi Minh. Sejauh ini aman sih. Dari Ho Chi Minh ke perbatasan Kamboja juga lancar meski sempat melihat drama palak memalak terhadap bule yang dalam hati kasian tapi yha w bisa apa. 

Sampailah kita berdua di kota Siam reap. Jalur selanjutnya adalah menuju Vientiane, ibukota Laos. Saya tidak menemukan informasi yang saya butuhkan untuk menyebrang ke Negara ini karena jalur yang saya lalui bukanlah jalur umum turis, apalagi turis Indonesia. Disinilah serunya. 

Dari Siam Reap, kami memesan minibus di sebuah kios travel di seberang pasar Siam Reap dengan tujuan Vientiane dengan tanggal keberangkatan 31 Desember 2019 pukul 8.00 pagi seharga 45$ per orang. Mahal ye. Tapi lebih murah dari toko sebelah. 

Pada jam 7 lewat banyak, datanglah tuk-tuk yang jemput kita dan menuju ke pangkalan bus (((pangkalan))). Disini sudah menunggu beberapa orang. Beruntungnya adalah mereka agak strict masalah jumlah penumpang, ketika dibilang hanya 11 penumpang ya isinya akan 11 penumpang. Masalahnya adalah harus nungguin 3 orang lainnya yang masya allah janjian jam berapa datang jam berapa. Hasilnya kita semobil jam 10 lewat baru berangkat. Khas Indonesia? Nope, ini khas Asia Tenggara :)

Setelah jalan kurang lebih tiga jam, mobil berhenti dan semua penumpang turun di sebuah rumah makan yang entahlah di kota mana. Sialnya adalah yang jualan makanan gak bisa berbahasa Inggris hehe, jadi agak terkendala saat memesan makanan. Sudah bingung dan okelah, akhirnya kita hanya berani beli sayur dan ikan goreng. Mahal ugha sih bayarnya kemarin. 

Kemudian mobil melanjutkan perjalanan melewati daerah taman nasional, melewati jembatan yang panjang sekali diatas sungai Mekong dan singgah di kota Krong Stung Treng yang berada di samping sungai Mekong. Rupanya ini adalah kota transit dan kota pergantian moda transportasi. Disini kami berganti minibus untuk menuju perbatasan darat Kamboja dan Laos bersama Sofi dari Belanda dan Shinggo dari Jepang. 

Kita berempat masih was-was sih ngelewatin perbatasan karena mobil membawa kita melewati daerah perkebunan mangga yang baru banget ditanam kemarin kayaknya skaing kecilnya itu pohon dan jalannya adalah jalan tanah berdebu melewati semak tinggi, dalam pikiran sudah jelek apakah kita akan di lempar di jalan atau akan diselundupkan lewat border yang tidak resmi, hingga sampailah di sebuah bangunan yang Rizki kira adalah kantor imigrasinya, tetapi ada mbak-mbak lagi ngipas sate. Mosok iyo? Khan. Oh ternyata mobilnya ngantar barang sembako.

Untunglah setelah beres urusan jastip sembako, mobil keluar dari daerah perkebunan mangga muda dan melewati perkampungan hingga tembus ke jalan besar yang semakin banyak debunya. Tidak lama kemudian mobil menepi sebelum pintu masuk border. Supirnya bilang jalan aja terus, loh ?, nanti akan dijemput disana katanya, ohhh.
 
Shinggo, Rizki dan Sofi menuju kantor perbatasan.


Kantor Perbatasan Nong Nok Khiene

Selanjutnya adalah masalah paspor dan pemalakan. Ya paspor Indonesia aja diminta 2$ per orang untuk stempel, apalagi paspor bule. Pokoknya siapin duit aja kalo berniat perjalanan darat yha. 

Disini juga ganti bis dan kukira akan lanjut sampai Vientiane, hingga bis ini berbelok ke arah sebuah pedesaan dan berhenti di terminalnya. Supirnya pun berkata ā€˜kamu harus nyebrang ke Don Det karena tidak ada bis menuju Vientiane hari ini, baru ada besok jam 11 pagi’ …………… NANI??????!

Kecewa, kesal dan kepikiran kok begini banget dan mau bilang 'Yah Bang ini kan malam tahun baru, lu gini banget ama kami bang. Saudara Sebangsa loh kita ni'. Abangnya diam dan menyarankan untuk segera pergi menyerbang ke Don Det karena sebentar lagi adalah perahu terakhir yang akan nyebrang. 

Tapi nggak deh, kalau besok bisnya ada disini ngapain nginap di seberang pulau kan. Repot benar sarannya. Setelah diskusi, aku dan Rizki sepakat untuk makan malam dulu dan nyoba nginap di hotel yang tadi kami lihat sebelum mencapai terminal yang telihat bagus dengan  lampu terang. Kalau kemahalan, bersiap meninggalkan malu dan numpang nginap di rumah warga. 

Coba ke hotel itu dulu dan voila lagi sepi, harga murah dan ada wifi plus air hangat. Eh, rejeki tahun baru nih. Bisa nih buat mabuk, eh, istirahat maskudnya. Terpaksalah tapi enjoy, malam tahun baru 2020 dengan ini dinyatakan dirayakan dengan tidur pulas di kota Nakasang. Thank you. 

Niat awalnya yang merayakan tahun baru di Luang Prabang, eh malah di Nakasang. Paginya kami berdua keliling kampung dan menuju pelabuhan di sungai Mekong. Suasananya persis seperti kota-kota pelabuhan sungai di Kalimantan. Pasar di samping sungai. Ketinting. Arang berkarung-karung dan antrian warga yang duduk santai di warung menunggu ketinting atau kelotoknya berangkat. Ternyata Don Det sangat populer di kalangan bule karena ada air terjun dan wisata alamnya. Yha, nanti lah masukin list dulu. 

Pukul 11 siang, datanglah minibus baru lagi yang akan mengantar ke Vientiane. Hore. Hingga akhirnya sekitar pukul 3 siang, bis sampai di kota Pakse. Tempat transit menuju Vientiane. Kami pun berharap sudah selesai dramanya dan bisa lanjut dengan hati gembira.

Kami mendatangi loket bis dan menunjukkan tiket terusan dari Nakasong berharap segera mendapat tiket baru dan bisa menghela nafas tanda selesai drama. Ternyata reaksi makelar tiket bis adalah menggelengkan kepala dan seolah berkata bahwa tiket bus kami tidak valid karena beda perusahaan. Kan anjir. Kan hungang. 

Panik tapi tetap santuy. Tidak boleh terlihat seperti hilang arah. Kami coba telpon ke nomor travel Siam reap yang gak nyambung. Tidak menyerah aku minta wifi mbaknya buat nyari kode telepon Kamboja dan mencoba nelpon pake whatsapp yang ternyata dia gak pake wa. Doh berasa cinta bertepuk sebelah tangan ini.

Ya sudah, kita coba beli kartu telepon lokal dulu dan minum aer. Saat kembali ke konter tiket dan memutuskan ya udah kita beli lagi aja tiket ke Vientiane seharga 170.000 Kip atau sekitar 200rebuan lah, gapapa rugi. Eh pas mau beli, mbaknya bilang nanti orang travelnya datang kesini dan ngurus tiket bus kami. Hamdallah. 

Akhirnya sekitar pukul 6 sore, kami mendapat tiket sleeper bus tujuan Viantiane dengan kursi paling belakang alias seranjang bareng orang lain hahaha dan berangkat pukul 8.30 malam dan akan tiba di Vientiane pukul 6.30 pagi. 

Bisnya enak sih, tidurnya pake kasur. Ada bantal dan selimut tebal warna coklat. Setiap penumpang akan dikasih air mineral satu botol, snack dan susu kedelai. Karena kami kursi ranjang paling belakang jadinya sangat kerasa sekali apabila bisnya mendadak berhenti atau ngelewatin jalan yang berombak. Mana Ac-nya bocor dan semalaman saya nyari posisi agar terhindar dari ac bocor yang keluar dari pipa pvc tepat di atas kepala dan tangan saya.

Paginya saya bangun oleh burung berikicau bus yang beberapa kali melewati lubang. Dalam hati sih bersyukur, lumayanlah selamat sampai Vientiane. Oh iya, bis-bis di Kamboja, Vietnam dan Laos, mengharuskan kita melepas sepatu dan nanti akan dikasih kantong plastik untuk taruh sepatu kita. 

Total perjalanan yang ini adalah 18 jam non-stop tetapi kami sempat transit di Nakasong satu malam dan berganti bus sebanyak empat kali di Stung Treng, Border Laos, Nakasang dan Pakse. Setidaknya jadi tau, kita bisa pesan bis dengan rute langsung atau nginap di beberapa kota dulu.

Comments

Popular Posts