Cerita Transit di Jakarta
Bagi saya, kota Jakarta itu tampak menakutkan. Bisa jadi ini hanya penilaian yang berbasis emosi sesaaat tanpa mengetahui bagaimana bentuk kota ini sebenarnya. Iya. Sebagai anak daerah dan disusupi berita di TV setaip hari, hampir mayoritas mengisahkan kejadian yang terjadi di ibukota ini. Yha mau bagaimana, orang semua pusat kantor berita ada disini, ye kan. Mau gak mau, saya dan jutaan anak daerah lainnya tau sedikit demi sedikit tentang Jakarta dan dinamikanya.
Pemilihan gubernur, demo di gedung DPR, kriminal, kasus ojek online dan penipuan bank yang terjadi di Jakarta adalah satu dari sepuluh pengetahuan umum yang sudah menjadi konsumsi publik sampai ke desa-desa. Sehingga, saya mengenal Jakarta ya sebagai kota yang penuh dengan kehidupan yang mengarah ke arah negatif.
Mau berapapun berita positif tentang Jakarta masuk tv, tetap saja berita kriminal lah yang akan dibahas lagi oleh mulut tetangga, selain membahas anaknya tetangga lain yang belum nikah-nikah huft. Saya ingat sekali, begitu dapat informasi bahwa akan mengunjungi Jakarta lagi tahun 2016 silam, sungguh saya gugup dan takut. Begitu kuatnya pemberitaan tentang kriminal, demo, tawuran, bom meledak yang memenuhi kepala saya. Saya berhak khawatir atas keselamatan diri saya sendiri.
Namun itu dulu.
Setalah absen ke Jakarta selama setahun lebih sedikit, saya mulai memahami bahwa apa yang saya takutkan itu tidak beralasan alias tidak semuanya akan benar terjadi. Mungkin Tuhan masih membiarkan saya hidup untuk melihat sendiri bagaimana kota ini bekerja.
Kembali ke kota besar ini merepotkan. Saya harus beradaptasi lagi dengan banyak hal. Salah satunya adalah penggunaan transportasi setiap hari. Iya kali cuman mendekam di kosan sepanjang hari. Suntuk. Jadi pais kata orang Banjar. Saya sudah lupa caranya menggunakan KRL, sky train atau trik menggunakan ojek online, termasuk turun dimana dan mengarahkan jalan. Kemarin begitu turun di Jakarta saya berharap ada yang jemput dan mengajari sekali lagi menjadi manusia ibu kota. Soalnya pernah panik sendiri ketika turun di sebuah halte transjakarta yang ternyata kalau keluar harus pakai kartu tap e-money sementara untuk naik kemarin di-tap-kan oleh teman.
Beruntungnya, selalu ada orang baik, kok. Begitu saya khawatir dan gak tau harus keluar bagaimana, datanglah seorang penjaga halte yang bantu 'mengeluarkan' saya dari palang otomatis itu. Yha begitu, tidak seharusnya saya hanya memberikan label 'menakutkan' pada kota Jakarta.
2019 ini, saya bisa melihat sisi lain dari kota Jakarta, bahwa kota ini terbangun oleh semangat untuk hidup yang lebih baik oleh mereka yang bahkan masih naik KRL pada tengah malam dan kemudian harus bangun besok pagi. Lebih pagi dari orang-orang perkebunan kerja. Kota ini juga dibangunkan oleh suara-suara berisik dari deru knalpot ojek online, suara mesin kopi, jaringan kabel dan air hujan yang datang setahun sekali dan menjadi pertunjukan yang seru untuk diperdebatkan, diberitakan, diabadikan hingga ditertawakan oleh jenis manusia lain yang kebetulan saja terlahir di Indonesia bagian mana mbuh.
Ahh, dasar akunya saja yang memang merasa lebih cocok dan nyaman hidup di kota yang kecil. Hidup analog, kalau kuistilahkan.
Comments
Post a Comment