Kisah Kepala-Kepala Penuh Cerita

Bagaimana saya harus menceritakan kisah perjalanan saya kemarin? Kalau tentang tips dan trik rasanya bosan, aka nada ratusan tulisan yang membicarakan hal yang sama. Menulis budget? Yakali anak kebun menulis budgeting, padahal prinsipnya fleksibel kok kalau ngeluarin duit demi liburan tetapi sesampainya di bandara mau pulang nangis juga lihat saldo rekening.
Bagaimana kalau menulis tentang kesan terhadap orang-orang yang saya temui? Ide bagus bay!
Saya kira perjalanan kemarin tidak terlalu spesial. Berawal dari sesumbar saya di grup whatsapp tentang mau datang ke Jakarta, eh jadi juga. Daripada stuck di Jakarta lama, sekalian aja liburnya dipanjangin jadi libuuuuuuuuuuuur hehe, dipanjangin dari Surabaya sampai Semarang jalur mutar. Sehingga kota-kota yang saya singgahi berurutan adalah : Makassar-Surabaya-Malang-Jogjakarta-Kebumen-Jakarta-Bogor-Depok-Cirebon-Semarang-Kendari.  Capek? Jelas, bahkan ketika hari kerja lagi saya tumbang selama kurang lebih 4 hari, ingusan, batuk-batuk, bersin, kepala pening, dompet kering. 
Tapi, lebih dari apapun saya akan tetap bersyukur, saya tidak pernah menduga bisa keliling jawa naik kereta api seperti yang saya cita-citakan sewaktu kecil. Namun disela-sela saya menikmati perjalanan berulang kali kecemasan itu datang. Ini benar gak sih saya jalan-jalan? Mengapa saya tak ambil rute ke Banjarmasin saja dan istirahat di rumah di Pagatan? Dengan begitu saya bisa menyimpan gaji saya dan seharian saya akan tiduran leyeh-leyeh nikmat. Adalah seorang teman saya yang menyadarkan saya, ‘Kamu datang di saat yang tepat, kok, Bay’. Iya. 
Kemarin, ada beberapa niat yang saya ikutkan ketika saya memutuskan untuk keliling Jawa. Pertama saya ingin bertemu lagi dengan Tim Natuna, kedua saya ingin melunasi hutang janji bercerita dan bertemu dengan beberapa orang. Syukur-syukur tinggal dua orang yang belum sempat bertemu. Sebagian lagi saya memang ingin bertemu untuk menuntaskan cerita-cerita yang belum usai. Nyatanya arah obrolan kita semua sudah bergeser. Dunia sepertinya tambah lebar dengan kita di dalamnya atau tidak. 
Salah satu pengalaman yang paling menarik adalah saat di Jogja. 
Saya mendapat saran dari teman untuk mengunjungi tempat-tempat yang hits dengan clue : instagram worthly. Nyatanya, saya diajak keliling Jogja dan mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah ada di benak saya. Saya menyangka akan melewatkan Jogja satu hari lagi dengan terburu-buru yang akhirnya saya sesali karena merasa kalah tempo dengan kotanya. Saya pernah mengutarakan kepada seorang teman bahwa kota Jogja punya hawa tersendiri bagi turis. Saya merasa Jogja sangat santai. Sesibuk apapun, Jogja punya suasana untuk membuat orang-orang berhenti sejenak dan menikmati sekelilingnya. 
Saya dibawa ke Museum Sisa Hartaku. Baru dengar? Sama saya juga. Museumnya bercerita tentang bagaimana sebuah rumah merekam kejadian meletusnya gunung Merapi. Barang-barang sisa ditaruh sebagai pajangan. Semua perkakas dari tv, radio, alat makan, baju, jam dan barang rumah tangga pada umumnya memiliki bekas bahwa mereka pernah merasakan secara langsung letusan merapi. Ditambah foto-foto kejadian saat merapi meletus, persis seperti foto-foto di War Remnants Museum di Ho Chi Minh City. 
Kemudian saya diajak ke Museum Ulen Sentalu. Untuk saat ini, museum ini menempati urutan pertama dalam hati saya sebagai museum yang asik. Entah buat yang tidak suka museum. Isinya? Lahacia hehe. Menyimpan berbagai koleksi tentang kesultanan Jogja dan Solo yang sumpah saya bingung ini bagaimana jalinan pertalian darah mereka. Kemarin masuk bareng dengan rombongan manula. Mereka heboh ngobrolin bagaimana caranya pangeran A nikah dengan putri B dan meributkan apakah ada yang masih hidup. Begitu sampai keruangan Batik, mereka rebut lagi, mencoba mengingat nama motif batik dan guide museum menerangkan apa makna dan filosofi dari motif batik. 
Teman saya yang menemani saya seharian di Jogja, mencatat diam-diam makna batik yang ia lihat.saya pikir ini bukanlah study tour anak sekolahan yang nanti materi akan dikumpulkan dalam laporan berformat. Saya salah. Ia punya minat dalam terhadap budayanya sendiri. Saya melihat bagaimana ia kagum dengan beragamnya motif dan filosofinya. Saya hanya ngangguk saja. Saya merasa di Museum Banjarbaru tidak ada motif sasirangan dipamerkan beserta arti dan filosofinya. Atau saya yang kurang gaul ya. Teman saya tadi malah bercerita tentang bagaimana ia bangga dengan budaya Jawa. Saya salut. Sekaligus kagum. 
Perjalanan saya lanjutkan untuk ke inti cerita. Jakarta. Agak ngeri membayangkan ketika saya ke Jakarta lagi. Berulang kali saya kabari teman saya bahwa saya masih merasa ngeri melihat Jakarta. Takut tergencet saat naik kereta, takut tiba-tiba ada demo saat saya lewat, takut kecopetan, takut makan ini itu, takut tidak bisa naik krl karena sudah lupa caranya haha. Teman saya ngasih balasan : you’ll be okay, kok. Oke, saya siap. Akibat nekat, hari pertama saya sudah nyasar sampai ke sebuah stasiun yang saya baru tau namanya. Bego sih. 
Di Jakarta ngapain aja? ya, yang pertama ketemu sama tim Natuna dulu, selebihnya gak tau. Pertama ketemu ya Pahala karena saya numpang nginap di kosannya. Yang kedua adalah Latin karena janjian ketemu di stasiun Tanjung Barat. Yang ketiga adalah Cece yang kita jemput di stasiun Pondok Cina. Saya bertiga menuju Bogor demi menuntaskan keinginan saya untuk pergi ke Kebun Raya Bogor, hehe. Saya membayangkan akan seharian di KRB ngeliat tanaman-tanaman dan foto-foto, eh ternyata KRB luas ya hehe. Seharian saya ‘buol-buol’ atau ngobrol ngalur ngidul dengan Latin dan Cece. Apa aja. Saya senang kami bertiga masih satu frekuensi. Diawali dengan berita yang nggak bikin kaget, membahas hmmmmmnya nisa syaban, sampai lupa mau curhat masalah kerjaan. Iya, sama tim Natuna apa aja diobrolin sampai dipelintir beritanya. Gosipnya dibahas cerdas dan terarah haha. Berikutnya, saya dikabulkan permintannya untuk main ke AEON Mall hehe. Gak kuat jalan akhirnya hanya mutar-mutar, soalnya pusing lihat banyak orang. 
Secara khusus, di Jakarta saya bertemu banyak kepala. Masing-masing kepala menyimpan sebuah cerita yang saya terkesan dan heran, bagaimana caranya ia menyimpan cerita ini seorang diri. Saya merasa sangat dekat saat itu karena ceritany hampir sama yang pernah saya alami, bahkan akan lebih parah. Beragam topik saya dengarkan baik-baik, tentang bagaimana ia bertarung di Jakarta demi apa yang bahkan ia belum tau, tentang bagaimana kondisi yang tidak ideal antara kenyataan dan harapan (ini mendengarnya saya merasa harus minta maaf) tentang bagaimana bekerja bukan karena latar belakang dan harus idealis tetapi sesuai passion dan fokus. Ternyata Jakarta bukan hanya tentang ibukota dan venue Asian Games. Rupanya diam-diam Jakarta memperlakukan setiap orang yang datang, tinggal dan pergi dengan mengendapkan cerita-cerita yang tidak berhenti dari pagi hingga pagi lagi. Kuat-kuatin aja kalau mau ceritanya yang lengkap. 
Terima kasih atas segala perhatiannya. Saya bersyukur, tidak pernah terbayang mimpi masa kecil saya keliling Jawa harus dibumbui dengan orang-orang yang sudah seperti saudara. Saya beruntung, bisa mewujudkan mimpi ini ketika sudah mampu. Sudah ada tabungan dan banyak kenalan.

Comments

Popular Posts