Tentang menjadi relawan (Amatir)

Pertengahan Oktober 2017 sms itu datang setelah sebelumnya kita berdua saling menceritakan kesusahan hidup masing-masing. Menertawakan lebih tepatnya...... "Benar nggak sih kita relawan?"
 
2017 silam saya memberanikan diri terjun ke sebuah hal baru. Hal yang benar-benar baru saya kenal kulit luarnya saja. Menjadi seorang relawan kata orang-orang. Sekolah kepemimpinan katanya. Tapi yang saya dapat malah merenungi diri sendiri setiap malam, hehe. 
Orang-orang boleh pesimis tentang sekolah kepemimpinan. Tidak percaya juga dibenarkan. Toh selain ikut Indonesia mengajar, setiap hari juga kita dilatih menjadi pemimpin. Bahkan ikut AKB48 juga kayaknya sekolah kepemimpinan. Tapi ada satu hal yang aku rasakan dalam diri ketika mengenakan rompi hijau itu. Berani melepas identitas yang selama ini telah membentukku karena ketika datang ke daerah penugasan, orang-orang tidak peduli siapa saya. Orang-orang tidak akan bertanya apakah saya adalah ketua organisasi kampus, atau pemenang lomba debat internasional ataupun kepala karyawan di sebuah perusahaan bergaji dollar. Hanya atas nama Indonesia kami bersumpah untuk turut serta membangun dan mempercayai mimpi itu, melalui mengajar. 
Sehari-hari saya membantu mengajar di sebuah sekolah yang cat dindingnya berwarna-warni dan kokoh. Saya mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris. Sesekali untuk mata pelajaran IPA untuk anak kelas VI. Kemudian setiap rabu sore rutin menghidupkan kembali kegiatan Pramuka. Kemudian menjadi wali kelas II untuk semester baru. Hingga melanjutkan kegiatan Festival Anak Natuna 2017.
Mengapa mau?
Jawaban asal adalah sudah menjadi takdir saya.
Jawaban untuk saya terlihat berwibawa adalah meneruskan perjuangan agar mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jawaban kepada teman dekat, kapan lagi cuy liburan sambil kerja, ngajar anak-anak dan dikelilingi tawa mereka tiap hari?
Jawaban kepada teman tapi biasa, mengejar mimpi jadi guru sd di daerah terpecil.
Jawaban kepada orang tua, “…………”
Jawaban yang akhir-akhir ini kutemui ternyata adalah menemukan diri sendiri yang selama ini ternyata penuh dengan pengaruh orang-orang terhadap bagaimana saya harus bersikap bukan bagaimana saya ingin bertindak. 
Mungkin jawaban saya akan dianggap picik atau memperbaiki citra diri, tapi saya benar-benar menemukan potongan diri saya. Bagaimana saya bisa menemukan diri saya sendiri? Ya saya melihatnya dari mata anak-anak murid saya. Memang, mereka sangat jujur. Kalau ternyata saya salah, mereka akan mengatakan saya salah dan membantu saya menemukan lagi niat awal saya. Saya juga mengetahuinya dari sikap warga, mengapa saya mendapat segelas teh (kadangkala kerupuk ikan, pete, pok-ipok, kuliner Indonesia memang juarakkk!!!) ketika bertamu karena tidak setiap teh akan tersaji. 
Mari kembali bicara tentang kerelawanan. Setelah pulang apa maknanya menjadi Relawan kemarin bagi saya? Menjadi relawan tidak semudah yang kita pikirkan. Perlu banyak pertimbangan. Terutama tenaga dan waktu yang terbuang saat melakukannya. Belum lagi kalau ternyata mengeluarkan biaya. Awalnya saya juga berpikir apakah saya sanggup melakukannya dan bagaimana caranya bertahan selama beberapa waktu juga kalau saya menyerah bagaimana? Namun ternyata saya berhasil melaluinya dengan berbagai syarat juga tapinya. 
Namun tidak sesulit yang selama ini terlihat. Saya hanya harus berani. Apapun yang selama ini belum pernah saya lakukan untuk pertama kali. Melibatkan diri dengan urusan bermasyarakat yang artinya ikut mencari ikan, memetik cengkeh atau hanya duduk bercengkrama. Mengajari diri ini untuk selalu rendah hati untuk berani membagikan ilmu kepada murid setiap hari, mengajari guru-guru atau siapapun. Tentu dengan berani melepas gelar kesarjanaan yang mungkin didapatkan dengan banyak cerita perjuangan. Namun, akan merasa kalah seketika bagaimana mendengar kisah perjuangan mereka untuk hidup sehari-hari. 
Bukan untuk mengada-ngada ataupun membuatmu terkekeh. Hanya mau ngasih tahu bahwa menjadi relawan itu harusnya menjadi dirimu sendiri yaitu seorang manusia dengan hati yang siap berbagi tanpa embel-embel identitas apapun termasuk agama, suku, ras, atau organisasi politik. Apalagi misi tertentu. Misimu hanya satu. Menjadi Relawan agar Pendidikan di Indonesia lebih baik lagi. 
Benar nggak sih kita relawan?  Kembali ke diri kita masing-masing saja apakah berani melepas ‘identitas’mu dan terjun sebagai relawan dengan harga tanpa imbalan ataupun tepuk tangan. Berani?
 
Suatu hari di SDN 004 Pian Tengah.
Catatan : Masih banyak ‘relawan’ garis keras yang pantas menulis beginian hehe, saya mah apa atuh, sekedar akar primordial yang berupaya memunculkan diri dari lapisan protoderm dengan terseok-seok untuk mendapatkan zat hara dan mineral esensial. Sesekali bertemu dengan logam berat tapi beruntung punya miselium. Tapi tetap teguh kok untuk mencari jalurnya sendiri.

Comments

Popular Posts