a crazy huge thing called ipeka

Tadi siang saya tak sengaja membaca sebuah postingan mengenai IPK, ya, sepertinya mingu ini IPK sedang naik daun. Dia menyebutkan bahwa, mahasiswa yang IPK-nya diatas 3, siap-siap menjadi karyawan, dan jika ingin menjadi bos, siap-siap lah IPK jeblok. Kemudian saya merenung, benarkah statement seperti itu ?
Menurut saya, siapa yang menjadi bos dan siapa yang menjadi karyawan tidak begitu penting. Lagipula, IPK yang tinggi belum tentu akan menjadi karyawan dan jika semua mahasiswa ber IPK jeblok, buat apa jadi mahasiswa, kemana hasil susah payah ikut kuliah ? apa yang menjadi bukti bahwa kamu benar-benar ikut kuliah. Kalau kamu memang ingin jadi bos, lebih baik langsung bekerja saja dan tak usah kuliah, kan enak jadi nggak kepikiran lagi tentang IPK.
Saya punya banyak teman-teman yang IPK-nya 3 dan ada pula IPK-nya yang jeblok. Sebagian dari mereka yang punya IPK tinggi menurut saya memang pantas menyandangnya. Mereka memang sungguh-sungguh berniat kuliah. Dan IPK adalah bukti dari keseriusan kita untuk belajar. Terlepas dari “kegiatan yang ambisius untuk mendapat nilai A dengan cara instan atau mencontek
Ada sebuah kejadian yang menurut saya sangat mirip dengan kejadian beberapa tahun yang lalu, tentang pentingnya kejujuran dalam ujian. Ada seseorang yang mengaku mahasiswa Faperta menuliskan bahwa tolong ujian diperketat  karena banyak yang tidak jujur dalam mengerjakan ujian. Tentu saja itu mengundang banyak komentar dari beberapa orang.  Mirip dengan kasus dimana ada anak yang melaporkan kecurangan dalam ujian dan dikucilkan oleh masyarakat.
Kalau ujian sih, tergantung tipe soal ya… hahaha, ada saatnya kita jujur dan ada juga saatnya kita minta bantuan dan saling membantu sama teman, namun itu bukanlah rutinitas dalam ujian artinya tidak semua ujian perlu kecurangan. Pasti temen-teman juga pernah jujur dalam ujian kan ? tidak selalu curang kan. Saya juga sama, saya bukanlah orang pintar yang setiap ujian jujur *kok malah curhat ???.
Kalau soalnya mudah, biasanya saya akan bekerja sendiri, namun jika bertemu dengan soal *dalam hal ini *mata kuliah tertentu; sensor*, terpaksa saya minta inspirasi dengan yang di sebelah. Alasan saya keluar duluan bukan berarti saya bisa menjawab semua dengan tepat dan benar. Saya keluar duluan karena saya jengah dengan suasana ujian yang terlalu ‘mencekam’. Diawasi terus menerus seperti ditekan dengan aura ‘gelap’. Seakan-akan pengawasnya berbisik kepada saya “Bayu, kalau kamu tengok kiri-kanan, saya todong ini ya *asah golok. Haduuuh, tata bahasa apa ini.
Jadi setelah ngalur-ngidul kemana-mana, IPK tergantung tujuanmu apa. Kalau ingin melanjutkan kerja yang lebih baik, saya yakin salah satu syaratnya adalah IPK yang tinggi. Saya mengejar IPK karena saya ingin melanjutkan S-2. Follow your passion….

Comments

Popular Posts