Motoran sepanjang jalan Kalsel-Kalbar

Bisa dibilang, mengunjungi kalimantan bagian barat adalah hal yang berawal dari penasaran. Seperti apa orang-orang di bagian barat sana menikmati hidup? Apakah sama selownya dengan di bagian selatan ini? Apakah mereka juga menyantap nasi kuning di pagi-siang-malamnya? Atau sama-sama memaki ketika kabut asap menerpa?

Saya memulai perjalanan panjang ini dari rumah saya di Pagatan sekitar jam 8 pagi. Setelah berkendara selama 12 jam, akhirnya saya tiba di Palangkaraya sekitar jam 8 malam. Sebelumnya saya sempat mampir sebentar di Banjarbaru dan Kapuas dan melewati jalan yang masih dalam tahap pembangunan di bawah gerimis. 

Seruas jalan dari perjalanan ini


Satu malam di Palangkaraya, saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Sampit dan menginap satu malam saja. Jaraknya hanya berkisar 6 jam perjalanan. Iya, saya membawa motor dengan pelan, karena malas tergesa-gesa dan menikmati perjalannya. Cukup unik bagi saya karena kir kanan jalan adalah lahan kering berpasir yang ditumbuhi tanaman rawa. Namun akan menjadi sumber kebakaran lahan jika di akhir musim kemarau dengan titik-titik api dan asapnya. 


Satu malam di Sampit saya rasa sudah cukup, karena niatnya cuma transit aja dan memutuskan nyoba telor mata gajah, kudapan malam yang paling banyak disebut. Besok paginya, sebelum berangkat ke kota selanjutnya, saya keliling di sekitar penginapan. Rupanya banyak rumah-rumah tua dengan arsitektur gaya tradisional dan pabrik Kayu yang sudah ditinggalkan. Berikut dengan Museum Kayu dan kantor Bank Indonesia Sampit. Wah ini kota maju pada masanya. 

Gerbang perbatasan Kabupaten Kotawaringin Barat

Setelah sarapan (yang mahal) saya melanjutkan lagi menuju Pangkalan Bun dan singgah ke rumah salah satu teman lama yang berada di pinggir jalan. Ia memutuskan untuk bertani sebagai profesinya sehari-hari. Sebuah pilihan yang sangat jarang saya lihat di masa sekarang ini. Ya saya sebenarnya juga mau kalau ada lahannya.

Puas berbagi cerita dan numpang makan siang, saya kembali melajukan motor ke arah kota Pangkalan Bun. Hal unik yang saya temui di sepanjang perjalanan adalah, banyaknya jalan raya yang berupa jembatan. Teman saya bilang, titik tersebut adalah langganan banjir setiap tahunnya. Jika tidak ada jembatan, maka otomatis akses terputus dan harus menunggu lama untuk menunggu surut dan aman dilewati.

Saya tiba di Pangkalan Bun ketika sudah sore hari dalam keadaan setengah basah karena gerimis. Akhirnya saya memilih penginapan terdekat saja untuk menginap satu malam, meskipun agak mahal dan termasuk hotel tua. Malamnya, hujan sudah reda dan saya memutuskan keliling kota.

Pangkalan Bun, kotanya lumayan luas dan modern, meskipun lebih banyak orang jual angkringan daripada yang jual makanan khasnya. Saking sukanya dengan kota ini, saya memutuskan menginap satu malam lagi dan pindah penginapan. Alasan sukanya, mau berkunjung ke Istana Kuning, nyoba Coto Menggala dan Kerupuk Basah. 2 hal terkahir tidak bertemu karena jam waktu warung makan yang siang banget, sedangkan saya ingin pagi-pagi lanjutkan perjalanan.

Penginapan di Pangkalan Bun

Saya kembali melanjutkan perjalan ke arah utara yang kiri kanan dikepung oleh hamparan sawit dan pembukaan lahan untuk pertanian penduduk. Medan jalan sudah mulai berubah menjadi berkelok-kelok dan berbukit-bukit. Pom bensin dan rumah penduduk mulai jarang. Sesekali adalah pondok kecil di tengah bukit yang sudah gundul dan digantikan padi gogo. Sesekali jembatan dengan sungai besar di bawahnya.

Selepas Nanga Bulik, saya terus melanjutkan perjalanan ke utara. Sinyal sudah hilang, berikut pom bensin. Saya berhenti di sebuah desa untuk membeli kopi karena ngantuk berat dan mengisi bensin eceran. Penjualnya bilang, pom bensin hanya ada di Sandai, yang mana kurang lebih 5 jam perjalanan lagi.

Sepanjang perjalanan yang masih berkelok ini dihiasi oleh rumah panggung dengan fasad yang khas. Sesekali sandung (?), gereja dan perkampungan. Saya tiba di Sandai ketika maghrib tiba dan memutuskan menginap di penginapan paling murah di kota ini. Begitu malam sudah pekat, tidak ada suara lainnya yang terdengar selain suara burung tiruan dari kaset yang volumenya maksimal. Sarang burung ini berjejer di sepanjang sungai dan berisik!

Setelah melewati malam dengan menutup telinga rapat-rapat (untungnya membawa ear bud), saya bergegas melanjutkan perjalanan ke Pontianak. Menurut google maps, kurang lebih 6 jam lagi akan tiba di kota tersebut, namun saya memutuskan mampir ke Tayan dulu. Mau main ke istananya.

Setelah melewati Tayan dengan jembatannya yang panjang banget masya allah tabarakallah, kaya melewati jembatan yang di Vietnam itu, nanti akan tiba di simpang tiga, bila ke kiri akan ke Pontianak dan bila lurus akan tembus ke Sintang dan kawan-kawannya. Mentoknya ke Entikong lah.

Saya ambil rute ke kiri dan menikmati jalanan berkelok dan berbukit itu lagi. Suasananya persis seperti jalanan di Bukit Suharto sana. Kalau tidak hati-hati ya masuk portal berita lokal. Tapi jalur ini lebih sepi, hanya 1-2 kendaraan yang beriringan.

Sebelum masuk kota Pontianak, kita akan melewati keramaian alias kemacetan dulu di Ambawang dan ketemu lagi titik kemacetan di lampu merah sebelum jembatan yang masuk kota. Kirain macet kenapa, ternyata jembatannya yang kecil banget sementara yang mau nyebrang kesana kemarin ya orangnya banyaaaaaak sekaleee. Belum lagi turunan jembatan ada lampu merah, buset dah. 

Akhirnya tiba juga di Pontianak!

Hehe, akhirnya bisa lihat tugu katulistiwa langsung!

Comments

Popular Posts