Jelajah Muara Kaman hari kedua
Kami memulai perjalanan agak lambat di hari kedua dikarenakan mampir dulu makan apam berkelapa parut yang sungguh enak banget dimakan pagi-pagi sama kopi. Sayangnya adalah kami tidak bisa melihat proses pembuatan apam ini dikarenakan nongkrong di warung kopi hehe.
![]() |
Apam dan ketan kuah srikaya |
Apamnya agak berbeda sedikit dengan apam yang di Kalsel. Apam disini lebih tebal dan teksturnya hampir mirip dengan roti gambung, dihidangkan bersama parutan kelapa juga. Selain apam juga disediakan ketan srikaya, yaitu ketan yang dipotong segiempat dan disiram kuah srikaya atau kuah santan yang manis.
Setelah memastikan perut aman dan kenyang, kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan melewati hutan sawit yang sempat kelewatan satu blok karena tidak mengetahui dimana harus belok yang mengarah ke penyebrangan feri menuju pusat kecamatan Muara Kaman. Alias ini perjalanan gak jauh-jauh dari sungai Mahakam kok.
![]() |
Fery penyebrangan antar kecamatan |
Rupanya, pusat kecamatan berada di seberang sisi sungai mahakam, jadi harus naik feri dulu. Kapal ferinya juga bukan kapal feri biasanya yang berupa kapal besar, tapi cuma kapal kayu yang hanya muat 1-2 mobil atau maksimal 6 motor dengan tarif Rp. 10ribu untuk motor. Cukup 10 menit menyebrang sungai Mahakam karena sudah tidak selebar di arah hilir. Rasanya lumayan ngeri-ngeri sedap karena feri akan bergoyang jika ada kapal lain yang lewat dan bersandar dengan satu jembatan papan untuk jalannya motor.
Dari penyebrangan feri menuju pusat keramaian akan ditemani rumah-rumah panggung warga yang tinggi banget. Rasanya seperti liliput yang berada di negri raksasa.
Suasana pusat kecamatan Muara Kaman saya pikir sama seperti Kodeco tahun 2000an awal. Ruko-ruko kayu dengan desain jadul, pasar yang sedang bersiap untuk buka dengan terpalnya, gedung serbaguna dan rumah-rumah penduduk. Semoga ada kesempatan balik kesini untuk liputan arsitektur atau kulineran, amin.
Ke Situs Kerajaan Kutai
Setelah selesai makan siang dan laporan bahwa anggota kelompok lengkap, kami melanjutkan perjalanan berkendara menyisir sisi sungai Mahakam dan berhenti di sebuah bangunan kayu yang di depannya bertuliskan “Situs Kerajaan Kutai”. Rasanya ingin teriak karena akhirnya kesampaian juga kesini setelah selama ini cuma tau dari buku LKS Sejarah, di umur segini baru bisa berkunjung.
![]() |
Situs kerajaan Kutai |
Tapi, coba dengerin cerita dari pemandunya deh, asli lebih dari sekedar 1 halaman LKS, karena lebih hidup dan ditambah pengalaman beliau sendiri selama menjaga situs ini. Seru, asli. Ditambah pengalaman mistis beliau, jadi kebayang sendiri petualangannya.
![]() |
Situs Lesong Batu |
Situs kedua adalah Situs Lesong Batu, yaitu sebuah lokasi yang memuat satu lesung yang terbuat dari batu. Bentuknya seperti meriam, namun berdasarkan penuturan pemandu, kemungkinan ini adalah salah satu tiang penanda gerbang masuk kerajaan pada zaman dulu. Misteri yang belum terpecahkan adalah, dimanakah tiang yang satu lagi dan ke arah mana gerbang ini menghadap?
Jika sudah diketahui kedua hal ini, maka bisa diperkirakan ke arah mana keraton atau istana menghadap dan letak tempat-tempat lainnya.
Situs ketiga adalah makam-makam yang tidak diketahui asal-usulnya. Hal ini dikarenakan tulisan di nisan tidak bisa terbaca karena kayu nisannya sudah lapuk. Letaknya tidak jauh berjalan kaki dari situs kedua tadi. Uniknya adalah terdapat sebuah batu yang jika dilihat sekilas mirip dengan Ganesha, itu loh patung gajah yang menjadi logo ITB.
Menuju desa Sabintulung
Setelah puas keliling situs kerajaan Kutai, kami pun melanjutkan perjalanan menuju desa Sabintulung ditemani panas matahari yang menyengat karena mengingat posisi sudah mendekati garis 0 derajat. Emang ada hubungannya ya?
Medan jalan pun berganti-ganti dari yang coran beton, jalan aspal mulus, masuk ke jalan khas perkebunan sawit dengan tanah merahnya. Hingga masuk ke area desa, jalanan sudah mulai membaik meski masih dengan coran beton yang hampir rusak.
![]() |
Sungai Kedang Rantau |
Sabintulung adalah desa wisata yang terletak di samping aliran sungai Sabintulung. Sungai ini bermuara ke aliran sungai Kedang Rantau, salah satu habitat Pesut Mahakam! Rasanya kaya travelgasm, perasaan ketika adrenalin dan hormon lainnya melonjak alias gak sabar nungguin kegiatan disini. Meski semangat banget berkegiatan, toh kami rombongan malah duduk-duduk sore di depan penginapan. Kami serombongan menginap di guesthouse milik kepala desa yang punya drone!
Epik sih ini desa.
Penginapan yang kami inapi berupa rumah panggung, sama seperti rumah-rumah di desa ini, yang berada di atas rawa dari aliran sungai Sabintulung. Meski rawa (dan bernyamuk), sebagian areanya malah tertutupi oleh rumput seperti rumput kerbau, putri malu dan sesekali pohon buah. Setiap harinya, ada kawanan burung yang beterbangan mengelilingi area ini.
Kegiatan yang bisa dilakukan disini adalah : ikutan menganyam bersama ibu-ibunya, mandi di sungai yang airnya jernih (ala kalimantan pada umumnya) atau naik perahu menyusuri sungai ke desa sebelah atau melewati garis khatulistiwa!
Akhirnya tercoret lagi satu bucket list ya, melewati garis khatulistiwa! Di atas sungai pula!
![]() | ||
Wisata susur sungai naik perahu |
Meskipun rasanya khawatir ya karena naik perahu kecil yang bergoyang kalau berpapasan dengan perahu lain dan diri ini tidak pandai berenang. Mana bawa kamera lagi. Tapi terbayar banget dengan pemandangan rawa, rombongan bangau dan desa-desa terapungnya.
Saya akan sangat merekomendasikan tur ini kepada siapapun yang mencari kegiatan alternatif ketika di Tengarong atau ketika lagi gabut di Kaltim.
Sebagai orang asli Samarinda malu dikit pertama tau IG Mahakam Explore itu pas liat Twitter masnya. Auto follow, semoga suatu saat bisa ikut gabung di open tripnya juga!
ReplyDelete