Suka duka WFH di kota kecil di Kalimantan
Pandemi is so last year, tapi wfh tetap ngalir
Tidak kerasa sudah 2 tahun lebih menjalani kerja dari rumah,
yang sebenarnya tetap kerasa sih akibat ngecek google calender terus. Tapi tetap tidak kerasa karena sembari kerja sembari mengerjakan pekerjaan rumah macam
ngecek air cucian, ngiris bawang untuk telur dadar dan tetap ke pasar setiap pagi sebelum jam
kerja dimulai.
Kerja dari rumah merupakan inovasi dadakan yang punya banyak
manfaat sekaligus kesedihan. Apa aja tuh kira-kira?
Sukanya adalah jam kerja yang fleksibel alias tidak ngantor full 9 – 5 seperti kerjaan yang sudah-sudah. Karena kantor saya di kota besar nun jauh disana, sehingga jam kantor mengikuti jam kantor WIB sedangkan saya tinggal di daerah WITA, otomatis ikut menyesuaikan waktu mayoritas. Senangnya jam kerja dimulai jam 9 pagi, tapi yang sering bikin sedih adalah waktu meeting yang mepet magrib atau di jam bobo siang waktu Indonesia tengah.
![]() |
Sesekali kerja di kafe |
Kesukaan berikutnya adalah karena sistem digital dan daring, sehingga tidak ada adegan masuk gedung kantor, sapa-sapa pagi rekan sejawat apalagi adegan bikin kopi di pantry. Tapi, jujur kangen juga menerapkan adegan ini, bahkan saking kangennya pernah numpang kerja di kantor orang hanya untuk merasakan suasana ngantor hehe.
Sukanya
adalah iya itu tadi ibarat baru bangun pagi langsung siap kerja, jadi tidak perlu
ribet menyiapkan ina itu, outfit cowok kue cowok street food, cukup seduh kopi
di dapur rumah sendiri dan yosh, kerja dimulai. Ganbatte. Lalu bagian sedihnya apa?
Kesepian huhuhu, gak ada teman bercakap-cakap secara nyata. Paling-paling bapak
sendiri yang minta cek air di bak mandi sudah penuh apa belum, atau paman pentol yang tiap hari lewat itupun sore hari.
Suka selanjutnya adalah bisa kerja dari mana saja selain di
rumah, jadi bebas kelayapan kemana saja asal kerjaan selesai sesuai tenggat waktu. Selama 2 tahunan ini sudah pernah nyoba
kerja dari café, kedai kopi baik yang konsep lucu atau konsep bangunan mangkrak, warung makan, depot, hotel, losmen, penginapan
biasa, pinggir pantai, pinggir sungai dan rumah teman sendiri. Dukanya? Perlu
usaha lebih hanya untuk menuju kesana karena perlu biaya bensin, konsumsi dan
lain-lain.
Nah nah nah
Karena saya domisili di kota kecil tingkat kecamatan, maka jumlah tempat
yang bisa menampung jamaah wfh hampir tidak ada. Selain rumah sendiri, rumah
teman dan rumah saudara yang tentu tidak bisa dihitung karena tidak menawarkan working space yang
nyaman seperti di kafe-kafe lucu.
Di Pagatan, ada sekitar 5-6 kafe atau kedai kopi, namun
hanya buka setelah ashar ke atas dan kadang jam bukanya malah di malam hari. Tidak
singkron dan inline dengan jam kerja. Jadinya harus nyoba sekalian pergi ke
kota besar buat nyobain kerja dari kedai kopi yang buka dari pagi.
Sebenarnya tidak ada keharusan untuk kerja dari kafe atau
dikira memenuhi ke-fomo-an agar seperti anak-anak di kota besar sana, nggak
begitu konsepnya, bro. Hanya saja suka jenuh kalau di rumah. Alhasil pelarian ya nyari suasana baru
, siapa tau dapat insight buat brainstorming atau weekly meeting. Kalau di
kedai kopi suka lebih fokus kerja daripada di rumah. Karena di rumah makin
kesini makin banyak distraksinya, jadinya perlu mendengar suara baru alias
suara teteh-teteh barista (emang kedai kopi dimana sih ini kok baristanya
teteh-teteh?)
Namun, nggak terlalu sering juga sih kalau main ke kedai
kopi, malah lebih banyak di rumah juga kok.
Itulah yang menjadi masalah baru.
Karena hampir setiap hari kerja saya mendekam di rumah,
jadinya setiap weekend berusaha untuk mencari kegiatan ke luar rumah. Sepedaan
kek, ke pantai di kota sebelah kah atau main ke rumah teman. Namanya juga kota
kecil, pilihan tempat healing eh tempat wisata juga sedikit. Banyak sih, tapi penuh dan jauh.
Hal ini kadang saya lakukan sendirian karena beda waktu
libur dengan kebanyakan teman-teman saya. Mereka berharap akhir pekan gak
kemana-mana alias manut dengan pemerintah #dirumahsaja padahal pandemi sudah
longgar. Hal ini karena mereka di hari kerja malah kelayapan. Kadang sedih juga
hehe.
Dibalik ke suka-duka an selama kerja dari rumah ini saya selalu merasa
bersyukur kok. Meski laporan cuaca oleh netizen kadang badai dan hujan petir, saya tetap tidak merasa was-was karena ya kerjanya mendekam seharian di rumah sambil selimutan. Bersyukurnya juga gaji tidak habis untuk keperluan trasnportasi dan jajan yang lebih sering. Apapun kondisi sekarang, memang patut bersyukur kok.
Comments
Post a Comment