Bukit Modus, Bukit yang Dijanjikan
Hari ini mumet haha, jadinya nyari pelarian alias motoran pakai mio berawarna hijau yang masih kotor karena lagi malas nyuci motor. Rutenya? Keliling mengikuti jalur satu arah, ikut berhenti di lampu merah hingga berhenti di sebuah daerah bernama Pelambuan.
Daerah ini berada persis di samping sungai Barito. Sangat pas untuk melihat matahari terbenam sambil duduk di atas motor pakai standar satu, atau di atas Pelabuhan kayu. Duduk aja, sambil spotify-an juga sabi. Nenangin diri hha.
Susah juga ya di Banjarmasin, baru kepikiran eh, nyari tempat pelarian harus banget ke Pelambuan. Bisa sih duduk di siring sungai Martapura, tapi banyak motor dan pelari lewat. Ganggu sih ini. kurang slow. Mending usaha sedikit, ke Pelambuan, cari spot duduk kosong dan menikmati waktu sampai matahari terbenam.
Lalu jadi teringat.
Ketika di Bombana, saya pernah berkesempatan mengunjungi ‘tempat’ ini beberapa kali. Setiap kesana, saya sekali kagum dengan apa yang bisa didapat selama berada disana. Tempat ini bernama Bukit Modus. Sebuah perbukitan, mirip sekali dengan perbukitan di teletubis dalam skala besar. Jauh berbeda dengan bukit teletabis di Pelaihari yang seringnya terbakar kala kemarau atau rusak gara-gara bekas crossroad. Hedeh.
Kenapa Namanya bukit Modus? Apa sering dipakai anak muda untuk modus? Bukan kisanak. Anak muda Bombana mana yang mau bersusah-susah ke bukit ini hanya untuk ‘modus’?
Namanya adalah akronim dari Moronene Dusun. Moronene adalah suku yang mendiami sebuah kampung yang terletak tidak jauh dari perbukitan ini. ini kampung sangat tradisional sekali, khas kampung-kampung tanpa terjamah modernitas. Bagi yang terikat dengan sinyal dan lampu indomaret, menangis bila berada disini.
Pertama kali diajak ke bukit ini Ketika pulang kerja. Alias jam 5 sore. Yang ngajak adalah teman kerja dan asli daerah Bombana. Maka saya percaya perjalanan wisata dadakan ini akan baik-baik saja. Sebentar, jam 5 sore bukankah sebentar lagi magrib? Betul kisanak. Teman saya mengatakan hanya perlu waktu sebentar untuk menuju bukit ini. okelah kan ya. Tidak ada jalur di google maps, jadi ya sudah mengikuti motor di depan.
Sore itu, jadilah kami berangkat. Lupa persis ada berapa orang dan saat itu masih sore panas layaknya di belahan Sulawesi tenggara tanpa tau kalau keadaan mulai berubah menjadi gelap.
Jalan
masuk menuju bukit ini berada dalam jalan Taman Nasional Rawa Aopa. Seru banget. Melewati
sabana khas rawa Sulawesi Tenggara. Pepohonan yang jarang-jarang dan endemik
daerah sini, kemudian melewati sungai kecil dan hutan cemara. Cantik banget.
Memasuki perkampungan, suasana masih sore-sore namun sudah tidak terlalu terang lagi. Perkampungan ini terdiri dari rumah-rumah warga tipe panggung yang terbuat dari kayu, tanpa hiasan berlebihan dan kebanyakan masih warna alami tanpa cat. Klasik. Rumah-rumah ini berada di sekeliling hutan Jambu Mete.
![]() |
Hutan Jambu Mete, ingat film apa hayo? |
Terdapat satu balai desa yang dipenuhi hiasan motif khas dari suku Moronene di sebuah lapangan luas. Di ujung jalan, di belokan terdapat bangunan masjid saja, tanpa embel-embel tempat wudhu, rak sepatu atau Menara corong adzan.
Setelah belokan, kita akan melewati sebuah hutan yang suasananya hampir mirip dengan cerita hutan-hutan eropa. Pohon berdaun jarum, sabana rumput setinggi paha, pohon-pohon besar berdaun kecil, sedang dan lebar bergantian memenuhi barisan.
Ditambah perbukitan kokoh dengan warna coklat tanah dan hijau rumput di sebelah kiri. Sangat pas untuk camping dan stargazing sambil bawa tenda warna mencolok dan teleskop untuk konten instagram~
![]() | |
Jalan panjang menuju Bukit Modus |
Sehabis melewati hutan yang asik ini, tibalah di sebuah area yang mengingatkanku akan setting film horror Indonesia.
Kumpulan pohon bambu berukuran besar tinggi. Kadang membentuk gapura, kadang bergerombol. Mulai dari sini, jalan mengecil, licin dan berkelok. Maklum, ini adalah jalan kampung tempat warga lalu Lalang, tidak didesain untuk motor. Mana suasana makin gelap. Ditambah makin masuk ke dalam hutan. Mirip mirip hutan di Tahura Mandiangin tempat latdas. Tipikal hutan primer (benar gak nih istilahnya) campuran pohon berdaun lebar dan semak gitulah.
Sudahlah semakin gelap, terkadang ada daun dan ranting yang menghalangi jalan dan terpaksa dihalau atau menunduk. Tidak jarang ada batang besar yang menghalangi jalan atau aliran air kecil. Sesekali ada pohon salak (kalau tidak salah mengenali), suara burung saling bergantian (dalam pikiran apakah ini mereka menyuruh kita pulang?) apalagi kalau jalan sudah terblok oleh batang besar (jadi teringat wanti-wanti asmen kalau ada begini mending diklakson, tapi takut kalau berubah menjadi mahkluk lain!).
Sudahlah, mana sudah masuk magrib. Jalanan menjadi gelap, air berjatuhan kaya hujan gerimis, rapalan doa dibaca kuat-kuat, gas terus tanpa menoleh ke belakang, libas terus rerumputan yang penting segera sampai di bukit yang di janjikan! Tapi kok hutannya tambah gelap dan serasa tidak berakhir ini jalur. Jangan-jangan kita dibikin sesat dengan siapapun. Di kepala sudah terlintas potongan-potongan film Keramat.
Perlahan, ada cahaya terang di ujung hutan. Kami pun semakin menambah kecepatan motor berharap segera sampai di bukit yang dijanjikan. Dan …. Voila. Bukitnya di ujung sana dengan semburat ungu campur nila sedikit orange khas matahari terbenam. Ah, langit Sulawesi ini beneran teope dah.
![]() |
Bukit Modus di sore hari |
Rupanya di bukit sudah ada sekelompok pemuda yang sedang menyiapkan diri untuk camping. Asik bener dah hidupnya.
Sembari menikmati pemandangan yang sangat bagus ini, pikiran selanjutnya adalah bagaimana caranya pulang hidup-hidup dari bukit ini menuju mess dalam keadaan gelap total? Satu pesan teman saya, jangan menengok dan berpikiran macam-macam, terus jalan saja. Bukankah menambah jumlah ludah yang ditelan, glek glek glek.
Tidak berlama-lama di bukit ini (Sayang sekali dear), kami memutuskan segera pulang, karena pasti malam akan tambah gelap lagi. Belum lagi melewati hutan-hutan ini lagi. Haduh.
Tidak ada komentar lagi sepanjang jalan pulang. Gelap gelap total. Hanya penerangan dari lampu motor saja yang tersedia. Doa? Semakin sering dirapalkan. Mungkin tuhan mencibir, hanya berdoa di kala ketakutan, hedeh. Begitu sampai di perkampungan pun keadaan masih gelap gulita. Hela nafas? Sudah tentu. Khawatir juga.
Keluar dari perkampungan, teman saya menyuruh berhenti sebentar. Saya iseng bertanya, kok berhenti? Apa lelah? Mess masih jauh. Teman saya berkata : gapapa, biar gak ada yang ikut aja. saya Kembali bergidik, kemudian terbayang rute pulang yang sudah gelap total, melewati taman nasional dengan pohon besar-besar dalam keadaan sunyi?
Gas aja lah.
Untungnya tiba di mess dengan selamat dan lapar. Fyuh. Insight dari cerita ini adalah, jangan pergi ke bukit saat jam 5 sore, bukan karena apa-apa sih tapi karena pulangnya sudah pasti gelap sunyi. Bagi yang parnoan, mending pergi pagi deh. Serius.
Comments
Post a Comment