Cagar Budaya Indonesia kini, apa peduliku?

Menurut UURI No.11 Tahun 2010, Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dalam situs milik Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, sudah dijelaskan secara rinci mengenai apa itu Cagar Budaya beserta nilai, penetapan dan hal penting lainnya terkait Cagar Budaya di Indonesia.

Cagar Budaya Indonesia itu banyak sekali dan bisa berupa benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya di setiap kabupaten/kota. Dengan analogi begini, harusnya setiap kabupaten/kota di Indonesia yang berjumlah ±500 kabupaten memiliki setidaknya satu cagar budaya yang terdata dan bisa dikunjungi. Sayangnya, untuk beberapa cagar budaya yang pernah saya kunjungi di beberapa kabupaten, tidak sedikit yang tidak terawat.

Saya mengakui bahwa merawat suatu barang adalah hal yang sulit. Apalagi merawat cagar budaya. Siapapun anda yang pernah jalan-jalan ke salah satu situs cagar budaya setidaknya selalu ada vandalisme. Entah nama orang, slogan, quotes, akun sosial media atau gambar yang tidak pantas. Begitu sulitnya menjaga barang ‘orang lain’ di Indonesia. Bahkan kerap ditemui di batuan yang berumur ratusan tahun, arca yang kurang lengkap, bangunan bersejarah bahkan pohon keramat yang jelas-jelas sudah ada pagar pembatasnya. Kadang kesal sendiri kan kalau begini. Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu cagar budaya tetap lestari?

Vandalisme di salah satu cagar budaya, gambar dari jogja.trubunews.com
Saya pikir caranya cukup mudah, yaitu dengan tidak ikut-ikutan merusak. Kemudian juga berani menegur orang-orang yang merusak cagar budaya.  Itu sih sikap yang perlu kita miliki kalau mau cagar budaya terjaga, terlindungi dan dapat dinikmati sampai kapanpun. Kalau bisa viral-in pelaku perusakannya agar mendapat sanksi sosial sekalian hehe.

Tetapi, dibalik sejumlah orang yang merusak, masih ada sejumlah orang juga yang turut menjaga cagar budaya dengan caranya masing-masing.

Saya teringat akan sebuah komunitas yang saya kenal dan saya pernah ikuti kegiatannya ketika tahun 2014 lalu. Komunitas ini bernama komunitas Aleut yang artinya ‘jalan Kaki’ dan berlokasi di Bandung. Meskipun saya berdomisili di Kalimantan Selatan, saya tetap mengikuti kegiatan mereka lewat kanal sosial media mereka karena saya suka dengan konsep dan visi mereka dalam mengapresiasi sejarah yang ada di kota Bandung dan menjadikannya pariwisata. Komunitas yang keren sekali menurut saya karena mereka turut membantu merawat cagar budaya dengan cara menyebarkan informasinya kepada anak muda untuk tertarik dengan cara yang unik, yaitu dengan diajak berkeliling kota Bandung, mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan cagar budaya dengan cara berjalan kaki. Biasanya mereka memiliki tema-tema tertentu, seperti misalnya …

Saya juga mengikuti beberapa kanal sosial media yang berisikan informasi dan berkaitan tentang cagar budaya Indonesia. Tujuannya saya ingin tau bagaimana kondisi cagar budaya di beberapa tempat di Indonesia, sekaligus sebagai referensi apabila suatu hari nanti bisa jalan-jalan kesana. Sejauh ini, saya mengikuti @cirebonheritage dan @komunitas_begaya


Saya mengikuti kanal @cirebonheritage karena mereka menginformasikan mengenai peninggalan bersejarah di kota Cirebon. Seperti yang kita ketahui bahwa Cirebon memiliki sejarah panjang. Sejak zaman kerajaan hingga zaman pergerakan, Cirebon adalah salah satu kota di Indonesia yang masih menjaga cagar budayanya dengan baik. Masih banyak kota lain di Indonesia yang memiliki riwayat panjang tetapi sayangnya belum terdokumentasikan dan dikumpulkan dengan baik. Alangkah baiknya jika setiap kabupaten/kota memiliki akun yang menginformasikan hal-hal seperti ini. Bukankah sekarang informasi melalui sosial media lebih cepat diterima oleh banyak orang terlebih di Indonesia.

Salah satunya kota kelahiran saya, kota Pagatan. Kota ini merupakan ibukota kerajaan Kusan sejak tahun 1750-an yang telah memiliki Raja yang memerintah sejak tahun 1733 hingga 1908. Namun sayangnya, semua cagar budaya yang berkaitan dengan sejarah tersebut tidak bersisa terkecuali satu. Seingat saya hanya kuburan para raja-raja yang masih tersisa dan dapat dikunjungi namun kondisinya tidak dirawat dengan serius. Sisanya ada bekas istana yang saya sendiri masih sangsi apakah benar bangunan tersebut adalah bekas istana kerajaan. Ada satu lagi bangunan yang berada dekat dengan rumah saya, yang konon kabarnya adalah kediaman salah satu keturunan kerajaan Kusan yang sekarang sudah dibongkar dan tidak ada lagi sisanya. Habis. Tanpa generasi selanjutnya tahu bahwa disitu pernah ada rumah bersejarah. Sayang kan.

Saya teringat akan salah satu reality show Korea Selatan yang menceritakan tentang satu inisiatif untuk melindungi sekaligus mengenalkan restoran tua kepada generasi muda. Namanya adalah Tur Restoran Tua. Inisiatif ini dikelola oleh satu orang penggagas yang mengajak beberapa orang dari berbagai latar belakang untuk berkeliling suatu area di kota Seoul untuk mengunjungi beberapa titik restoran tua yang sudah beroperasi selama 30-40 tahun. Rupanya hal ini sedang digandrungi oleh anak-anak muda kota Seoul karena memiliki banyak tema dan memang sudah bagian dari budaya mereka untuk makan diluar. Penggagasnya beranggapan bahwa hal ini sangat membantu dalam penyebaran informasi mengenai restoran tua dengan cara melibatkan anak muda yang memiliki kecendrungan untuk membagikan suatu hal yang unik kepada orang lain melalui akun sosial media mereka masing-masing. Sehingga diharapkan akan lebih banyak lagi orang lain yang melihat dan ikut melestarikan cagar budaya tersebut.

Hal ini dapat ditiru oleh Indonesia, meskipun tur-tur sejenis sudah ada di beberapa kota di Indonesia namun sepi peminat karena terkesan tidak nge-trend dan kurang merangkul berbagai kalangan. Anggapan seperti ‘Ngapain ikut tur di kota sendiri?’ begitu mungkin pikiran mereka. Padahal kota-kota di Indonesia sangat berpotensi sekali untuk dibuat tur seperti ini,  apalagi kota dengan riwayat panjang dan memiliki kawasan kota lama yang biasanya punya banyak hal menarik yang bersifat vintage. Sebenarnya sih gampang untuk menarik minat mereka, adain giveaway aja hehehe. Tinggal dirombak saja pengemasannya, disertai dengan poster informasi pengumuman yang aesthetic, teknik marketing yang unik dan mengundang beberapa influencer, maka ‘cagar budaya’ menjadi trending topic, lagi.

Terakhir, Kemendikbud bekerja sama dengan Ibu Ibu Doyan Nulis lagi bikin lomba blog tentang Cagar Budaya dengan tema Rawat atau Musnah. Boleh loh ikutan lomba blognya, ikutan merawat cagar budaya atau ikutan memusnahkan cagar budaya. Pilihan ada di tangan kita, kan?. 

Comments

Popular Posts